Kisah Anak Transmigran Merantau ke Jakarta: Apa yang Terjadi di Kampungnya?

Siswanto Suara.Com
Senin, 24 Mei 2021 | 07:00 WIB
Kisah Anak Transmigran Merantau ke Jakarta: Apa yang Terjadi di Kampungnya?
Ilustrasi transmigran [elements.envato]

Bekerja menjadi kuli pertanian di kampung bagi mayoritas anak muda semakin lama tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan favorit. Kalau dulu berebut, sekarang mereka punya sudut pandang yang lain.

Mereka merasa perlu melecut diri lebih keras untuk naik ke tingkat lebih tinggi dari sisi pekerjaan dan penghasilan.

“Bosen aja. Kerjaan kan gitu-gitu aja (di kampung). Zaman kan semakin lama semakin berkembang terus. Ibaratnya sekolah udah dapat ijazah SMA, ya buat apa sekolah kalau nggak nyari kerja lebih baik kan. Masa mau nguli terus. Carilah kerjaan, ngerantau, untuk mendapatkan yang lebih baik.”

“Itu aja sih. Ya kalau mau nurutin orang dulu ya bedalah sama zamannya sekarang. Nggak mungkinlah anak sekarang mau ibaratnya terjun langsung ke ladang.”

Rangkaian persoalan itulah yang kemudian mendorong anak-anak muda, seperti halnya Firman, kemudian memilih untuk mengadu nasib dengan merantau ke kota besar, seperti Jakarta dan Bali.

Di kampung Firman pernah berkata penghasilan dari bekerja di perantauan lebih menjanjikan ketimbang tetap bertahan di kampung dan kelak dia berhasil membuktikan ucapannya.

Kepadatan pemukiman penduduk terlihat dari ketinggian di salah satu kawasan di Jakarta, Rabu (28/9/2016). [Suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Jakarta kota impian banyak orang [Suara.com/Kurniawan Mas'ud]

“Kalau di kampung kan seminggu kerja tiga hari, keempat harinya sudah nganggur lagi, duit habis buat beli ini itu.”

“Jadi ya kalau anak muda kan kadang kan pengen ini, pengen itu. Kalau cuma ngandelin kerja di sana kan susah. Jadinya ya mayoritas merantau sekarang.”

Firman mengungkapkan dengan kalimat sederhana ketika saya tanya cita-citanya ketika memutuskan merantau ke Ibu Kota Negara: “Pengen punya aja. Cita-cita saya pengen membahagiakan orang tua. Kalau untuk membahagiakan orangtua sekarang ini kayaknya belum cukup, untuk membalas masih kurang.”

Baca Juga: Kisah Kontraktor Kenyang Hadapi Para Pemalak Proyek

Tahun ini merupakan tahun yang kelima bagi Firman bekerja menjadi pegawai dengan gaji lumayan di tanah perantauan, meskipun bukan pegawai perusahaan besar dan tanpa memiliki asuransi. Dia tidak perlu bersusah payah mengolah ladang seperti orangtuanya.

Tahun pertama, dia bekerja menjadi pegawai tempat usaha bakso. Penghasilannya Rp25 ribu per hari. Dari uang yang dikumpulkan per hari, dia bisa membantu keuangan keluarga di kampung. Sebulan sekali terkadang dia mengirim yang Rp200 ribu, terkadang Rp500 ribu, kepada bapak dan ibu.

Sesudah bekerja menjadi pegawai tempat usaha bakso, dia mencari tantangan baru lagi. Firman bekerja menjadi pegawai tempat usaha event organizer di Tangerang.

Dan sekarang dia menjadi pedagang lumpia dan tahu petis yang penghasilannya jauh lebih baik dibandingkan dua pekerjaan sebelumnya: rata-rata sehari dia bisa mendapat gaji Rp100 ribu.

Dari penghasilan yang didapat, dia bisa memenuhi kebutuhan hidup sendiri, mengirimkan uang untuk keluarga di Lampung Utara, dan menyisihkan sebagian lagi sebagai tabungan hari tua.

“Kalau merantau kan positif. Tiap hari kerja. Walaupun tetap ada pengeluaran kan pemasukan selalu ada walaupun sedikit. Sedangkan kalau di sana (kampung) pengeluaran banyak, pemasukan jarang.”

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI