"Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: “Masuk Islam-lah!” Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata:‘Taatilah Abul Qasim (Nabi shallallahu 'alaihi wasallam).” Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar seraya bersabda: 'Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka'" (HR Bukhari, No. 1356, 5657)
Adanya perbedaan hukum mengucapkan selamat Natal membuat tidak ada hukum mutlak bagi persoalan tersebut. Sebagai seorang Muslim, kita tidak boleh menjadikan perbedaan yang ada sebagai penyebab terjadinya konflik dan perpecahan.
Pasalnya, persoalan ini tidak tercantum secara jelas dan tegas di dalam Al-Qur'an maupun hadis, sehingga menimbulkan banyak asumsi.
Baik pihak yang mengharamkan maupun memperbolehkan diharapkan tidak mengklaim pendapatnya paling benar dan pendapat lainnya salah.
Apapun pilihan yang diambil, mengharamkan atau memperbolehkan mengucapkan selamat Natal, sebaiknya kita saling menghormati pilihan orang lain tanpa memaksakan pilihan kita.
Demikian sedikit penjelasan mengenai cara menyikapi perbedaan hukum mengucapkan selamat Natal. Semoga bermanfaat!