Sebenarnya upaya tersebut bisa dilakukan, kata Dewi, dengan cara mencabut izin dan hak usaha perkebunan yang berdampak buruk.
"Usaha-usaha perkebunan yang menjalankan usaha yang buruk seperti perampasan tanah, kekerasan dan perusakan lingkungan," papar dia.
Tingginya konflik agraria pada sektor perkebunan, dalam pandangan KPA, semakin menunjukkan pemerintah tidak mempunyai terobosan dalam menyelesaikan masalah. Karenanya, konflik yang terjadi selalu berulang.
"Ketiadaan langkah terobosan penyelesaian konflik pada sektor perkebunan yang dapat menjadi kerangka menyeluruh dalam penyelesaian konflik agraria di sektor perkebunan," tegas Dewi.
Akibat pembangunan
Masih dalam catatan KPA, terjadi lonjakan sebanyak 123 persen konflik agraria buntut Proyek Strategis Nasional (PSN) infrastruktur jika dibandingkan dengan tahun 2020. Jika pada 2020 terdapat 17 konflik agraria, sepanjang 2021 terjadi 38 konflik.
Dewi mengatakan, jenis pembangunan infrastruktur penyebab terjadinya konflik sangat beragam. Mulai dari pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol, bendungan, pelabuhan, kereta api, kawasan industri, pariwisata, hingga pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK).
"Dengan begitu, konflik agraria infrastruktur akibat PSN ini mengalami lonjakan tinggi sebesar 123 persen dibandingkan tahun 2020. Dari 17 kasus menjadi 38 kasus," ungkap Dewi.
Dewi menyebut, meningkatnya konflik agraria akibat PSN infrastruktur dipicu oleh target percepatan eksekusi proyek yang dijamin oleh regulasi pemerintah.
Baca Juga: Data KPA 2021: Jawa Timur Jadi Provinsi Dengan Kasus Konfilik Agraria Terbanyak
Regulasi tersebut, ucap dia, mempermudah proses pengadaan dan pembebasan tanah, yang berujung pada praktik-praktik perampasan tanah warga.