"Ada berbagai strategi yang mempersulit masyarakat sipil untuk beroperasi di berbagai wilayah di dunia," kata Silke Pfeiffer, Kepala Departemen Hak Asasi Manusia dan Perdamaian di organisasi bantuan yang berafiliasi dengan Kristen, Brot für die Welt (Roti untuk Dunia), kepada DW.
"Ini secara khusus ditujukan pada aktivis individu, yang didiskriminasi, diancam, dianiaya, dan dalam beberapa kasus dibunuh."
Di banyak negara, kata Pfeiffer, pemerintah memupuk lingkungan yang tidak bersahabat.
"Ini menjadi semakin sulit bagi organisasi masyarakat sipil untuk bekerja," katanya. Contohnya, pada akhir Maret, Presiden Nikaragua Daniel Ortega menutup 25 organisasi non-pemerintah.
Salah satunya adalah organisasi mitra Nikaragua untuk Brot für die Welt.
Sebuah 'pedang bermata dua'
Pemerintah dan LSM semakin banyak melakukan pekerjaan mereka secara online. Luther menggambarkan perkembangan itu sebagai "pedang bermata dua".
Pihak berwenang secara sembunyi-sembunyi menggunakan teknologi dengan cara yang berdampak negatif pada hak asasi manusia, katanya: "Pemerintah dalam banyak kasus juga kemudian mencoba untuk menutup dan mengganggu alat yang memungkinkan masyarakat sipil untuk berkomunikasi dengan lebih baik satu sama lain dan menyebarkan informasi."
Laporan tahunan Amnesty International mengutip beberapa contoh tentang hal ini: pembatasan internet dari 4 Agustus 2019 hingga 5 Februari 2021 di wilayah Jammu dan Kashmir yang dikuasai India; penggunaan teknologi pengenalan wajah pada aksi protes di Moskow; dan penggunaan spyware Pegasus Israel terhadap jurnalis, tokoh oposisi, dan aktivis hak asasi manusia.
Baca Juga: Siang Ini Amnesty International Indonesia Audiensi Bersama Komnas HAM Bahas Persoalan di Papua
Pfeiffer mengatakan internet adalah cara penting bagi masyarakat sipil untuk mengorganisir dan memobilisasi.