Suara.com - Elon Musk terkenal tidak suka aturan. Setelah ia akuisisi Twitter yang merupakan platform utama dalam komunikasi modern, hal ini akan mencuatkan masalah dan polarisasi. Opini Carolina Chimoy
Elon Musk pernah menggambarkan Twitter sebagai sebuah "alun-alun,” di mana warga pada zaman dulu berkumpul untuk bertukar informasi atau kabar terbaru.
Segala sesuatu yang ingin diketahui orang, bisa didapat di tempat ini dan apapun yang ingin diumumkan, juga dikumandangkan di jantung kota.
Boleh diasumsikan, Musk menyadari betapa pentingnya situs ini sebagai instrumen komunikasi di era digital.
Instrumentalisasi demi kepentingan pribadi? Pertanyaannya adalah, apakah dia juga menyadari seberapa besar tanggungjawab yang kini diembannya? Bahwa Twitter bukan layaknya sebuah korporasi swasta pada umumnya, yang hanya mengincar keuntungan? Akankah dia sebagai pengusaha sukses akan menggunakan platform ini demi kepentingan pribadi?
Sejumlah gagasannya pernah dia bocorkan dalam berbagai wawancara, terutama dalam penampilannya di "Ted-Talk”.
"Dia ingin mengelola Twitter tanpa campur tangan publik dan betapa platform ini tidak cukup bertindak menegakkan kebebasan berpendapat, atau bahwa komunikasi antarpengguna seringkali disaring tanpa alasan kuat", kata Musk.
Tapi apa yang dia maksud dengan "kebebasan berpendapat”? Apakah ia berarti kebebasan bagi semua orang untuk mengklaim apapun tanpa ada jaminan kebenaran?
Musk juga berulangkali menegaskan, betapa pemblokiran terhadap pengguna bukan tindakan yang bijak.
Baca Juga: Sejarah Berdirinya Twitter Hingga Dibeli Elon Musk
Hal ini diungkapkannya setelah Twitter mengunci akun mantan Presiden Donald Trump, menyusul dukungannya terhadap aksi kaum konservatif AS menyerbu gedung Kongres untuk memrotes hasil pemilu pada 6 Januari 2021 lalu.