Suara.com - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melaporkan kenaikan suhu permukaan signifikan naik di Indonesia bagian barat dan tengah. Di antaranya di Kalimantan dan Sumatera.
Pulau Sumatera bagian timur, Pulau Jawa bagian utara, Kalimantan dan Sulawesi bagian utara mengalami tren kenaikan > 0,3 derajat celcius per dekade.
Hal itu dikatakan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati.
Secara rata-rata nasional, untuk wilayah Indonesia, tahun terpanas adalah tahun 2016, yaitu sebesar 0,8 derajat celcius dibandingkan periode normal 1981-2010 (mengikuti tahun terpanas global), sementara tahun terpanas ke-2 dan ke-3 adalah tahun 2020 dan tahun 2019 dengan anomali sebesar 0,7 °C dan 0,6 °C,
Sementara laju peningkatan suhu permukaan di Indonesia tersebut, berdasarkan analisis hasil pengukuran suhu permukaan dari 92 Stasiun BMKG dalam 40 tahun terakhir.
Laju peningkatan suhu permukaan tertinggi tercatat terjadi di Stasiun Meteorologi Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, Kota Samarinda (0,5 per dekade).
Sementara itu, wilayah Jakarta dan sekitarnya suhu udara permukaan meningkat dengan laju 0,40 – 0,47 per dekade.
Analisis BMKG tersebut, lanjut Dwikorita, senada dalam laporan Status Iklim 2021 (State of the Climate 2021) yang dirilis Badan Meteorologi Dunia (WMO) bulan Mei 2022.
WMO menyatakan bahwa hingga akhir 2021, suhu udara permukaan global telah memanas sebesar 1,11 °C dari baseline suhu global periode pra-industri (1850-1900), dimana tahun 2021 adalah tahun terpanas ketiga setelah tahun 2016 dan 2020.
WMO, kata dia, menyebutkan dekade terakhir 2011-2020, adalah rekor dekade terpanas suhu di permukaan bumi.
Lonjakan suhu pada tahun 2016 dipengaruhi oleh variabilitas iklim, yaitu fenomena El Nino kuat, sementara itu terus meningkatnya suhu permukaan pada dekade-dekade terakhir yang berurutan merupakan perwujudan dari pemanasan global.
Sementara itu, Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan, Ardhasena Sopaheluwakan menambahkan pengkajian yang dilakukan oleh Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan bahwa pemanasan global tersebut tidak akan terjadi tanpa pengaruh faktor kegiatan manusia (antropogenik).
Pengaruh antropogenik yang lebih kuat dibandingkan pengaruh variabilitas alami seperti La Nina tahun 2020 – 2021 (yang memiliki kecenderungan menurunkan suhu permukaan bumi) dibuktikan pula pada kondisi iklim dua tahun tersebut, yang tetap menjadi tahun terpanas setelah tahun 2016.
"Keadaan perubahan suhu udara permukaan juga diikuti oleh perubahan suhu permukaan laut. Hasil analisis menunjukkan suhu permukaan laut di Indonesia juga terus meningkat, dengan laju yang lebih kuat setelah periode dekade 1960-an, yaitu sebesar 0,2°C per dekade," ujar Ardhasena
Ardhasena menyebutkan bahwa hasil analisis suhu udara permukaan global menurut perhitungan Badan Administrasi Atmosfer dan Kelautan (NOAA) Amerika Serikat, pada bulan Mei 2022 menunjukkan rata-rata anomali sebesar +0,178°C, lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar normal klimatologi periode 1991-2020.