Suara.com - Pawai ogoh-ogoh di Bali menjadi salah satu daya tarik wisata yang selalu ditunggu setiap tahun. Lalu bagaimana sejarah ogoh-ogoh dan filosofinya? Yuk simak penjelasan di bawah ini yang dirangkum dari berbagai sumber.
Filosofi Ogoh-ogoh di Bali
Dalam agama Hindu, ada konsep yang bernama nyomya, yaitu sarana untuk mengubah hal negatif menjadi unsur positif dan ogoh-ogoh adalah bentuk nyomya dalam wujud nyata atau sekala.
Sementara nyomya niskala atau tak terlihat dalam rangka Nyepi, masyarakat umumnya melakukan upacara Tawur Kesanga. Jika ogoh-ogoh diarak pada sore menjelang malam, maka Tawur dilakukan pada siang hari.
Sementara itu, ogoh-ogoh merupakan simbol dari Bhuta Kala atau hal-hal buruk yang kerap melekat dalam diri manusia, seperti nafsu, tamak, iri, dengki dan dendam. Tak heran jika ogoh-ogoh berwujud menyeramkan.
![Sejak pandemi Covid -19 pawai Ogoh – ogoh, sebuah ritual umat Hindu di Lombok, NTB ditiadakan. [Foto : Istimewa]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2022/01/29/43347-pawai-ogoh-ogoh.jpg)
Sejarah Ogoh-ogoh di Bali
Ada banyak hal yang berkaitan dengan sejarah ogoh-ogoh seperti berasal dari kata ogah-ogah yang dalam bahasa Bali berarti diarak lalu digoyang-goyangkan atau pawai.
Ada juga yang menyebut ogoh-ogoh merupakan perkembangan dari lelakut, yaitu nama orang-orangan sawah yang biasanya dipakai untuk mengusir burung.
Terlepas dari semua itu, sejarah ogoh-ogoh di Bali berawal pada tahun 1983, di mana pemeritah memutuskan Hari Raya Nyei sebagai libur nasional.
Baca Juga: Memahami Makna Pawai Ogoh-ogoh pada Perayaan Hari Raya Nyepi
Masyarakat kemudian mulai membuat perwujudan Bhuta Kala yang disebut dengan ogoh-ogoh. Mulanya, ogoh-ogoh tak berwujud seperti sekarang melainkan hanya berupa onggokan.