Pada 2017, Salwan Momika mengajukan suaka ke Jerman dengan visa Schengen. Di sana, ia secara terbuka meninggalkan agama Kristen dan menyatakan dirinya sebagai seorang ateis.
Setahun kemudian, ia pindah ke Swedia sebagai pengungsi asal Irak. Namun, permohonannya untuk mendapatkan izin tinggal permanen ditolak karena ketidaksesuaian informasi dalam dokumen imigrasinya, termasuk klaim palsunya tentang keterlibatan dengan Brigade Imam Ali.
Pada 2023, Salwan Momika menjadi perhatian dunia setelah melakukan aksi pembakaran dan perobekan Al-Qur’an dalam berbagai protes di Swedia. Ia mengklaim bahwa aksinya bukan untuk menyerang Muslim secara pribadi, tetapi sebagai bentuk kritik terhadap ajaran Islam.
Aksinya memicu kemarahan luas di negara-negara Muslim, menyebabkan memburuknya hubungan diplomatik Swedia dengan dunia Islam, serta meningkatnya ancaman keamanan nasional.
Badan Imigrasi Swedia sempat mengeluarkan keputusan untuk mendeportasi Salwan Momika, tetapi rencana tersebut tertunda karena ancaman yang mengintainya di Irak. Ia kemudian diberikan izin tinggal sementara hingga April 2024.
Selama periode tersebut, ia kerap berpindah tempat tinggal demi menghindari kemungkinan serangan dari pihak yang menentangnya.
Sejak aksinya viral, Salwan Momika menghadapi penolakan dari berbagai pihak, termasuk komunitas Muslim dan masyarakat Swedia secara umum. Bahkan di negara tempat ia mencari perlindungan, ia terus menerima kecaman dan ancaman. Permohonan suakanya akhirnya ditolak, membuatnya semakin terisolasi.
Kabar kematian Salwan Momika akhirnya dikonfirmasi oleh kepolisian Swedia setelah sebelumnya beberapa kali muncul rumor tentang dirinya menjadi sasaran ancaman kelompok ekstremis.