- JPPI, melalui Ubaid Matraji, menyoroti ketidakseimbangan gaji guru honorer dibandingkan sopir MBG di Jakarta.
- Gaji guru honorer di sekolah negeri Jakarta berkisar Rp300.000–Rp400.000 per bulan, jauh di bawah sopir MBG.
- Ubaid menilai ketimpangan ini menunjukkan lemahnya keberpihakan negara terhadap kesejahteraan dan status guru honorer.
Suara.com - Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengungkapkan salah satu bukti belum berpihaknya negara terhadap kesejahteraan guru honorer.
Kondisi miris tersebut terlihat ketika membandingkan penghasilan guru honorer dengan pekerja lain yang masuk ke lingkungan sekolah, termasuk sopir mobil program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Ubaid mengungkapkan, sopir mobil MBG justru bisa lebih sejahtera karena digaji jauh lebih besar dibandingkan para pengajar honorer di sekolah-sekolah negeri.
“Sehari itu gaji pegawai MBG ada yang Rp100.000, ada yang Rp150.000. Kali 30 hari, sudah pasti lebih dari Rp3.000.000,” kata Ubaid dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (30/12/2025).
Sementara itu, menurut Ubaid, banyak guru honorer di sekolah negeri justru hanya menerima gaji Rp300.000 hingga Rp400.000 per bulan. Kondisi tersebut bahkan masih banyak terjadi di kota besar seperti Jakarta, sehingga bisa jadi gaji guru honorer di daerah terpencil jauh lebih rendah.
“Di Jakarta saja guru honorer di sekolah negeri itu gajinya Rp300.000. Ini Jakarta, bukan Papua. Sangat miris, guru yang sudah puluhan tahun mengabdi digaji Rp300.000 sampai Rp400.000, sementara sopir MBG yang masuk sekolah itu justru lebih sejahtera,” ujarnya.
Ubaid menilai ketimpangan tersebut mencerminkan lemahnya keberpihakan negara terhadap guru. Ia mempertanyakan komitmen Presiden dan Menteri Pendidikan dalam menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas.
Menurut Ubaid, kondisi tersebut membuat profesi guru semakin tidak rasional secara ekonomi.
“Di sini kita bisa bertanya, bagaimana keberpihakan presiden dan keberpihakan Menteri Pendidikan terhadap dunia pendidikan? Lebih rasional mana, jadi sopir MBG yang tidak perlu sekolah tinggi, atau jadi guru yang harus S1, bahkan S2, tapi gajinya cuma Rp300.000?” tegasnya.
Baca Juga: Anggaran THR dan Gaji Ke-13 Guru ASN Ditambah Rp7,66 T, Ini Ketentuannya
Lebih lanjut, Ubaid mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai hanya berfokus pada pemberian tunjangan dan insentif tanpa menyentuh akar persoalan kesejahteraan guru honorer.
“(pemberian tunjangan) itu hanya politik pencitraan, di mana menjadikan sektor pendidikan ini jadi panggung. Jadi sebenarnya tidak menyelesaikan masalah,” katanya.
Ia menekankan, persoalan utama terletak pada status guru honorer yang hingga kini belum jelas dan tidak sepenuhnya diakui oleh negara. Akibatnya, posisi mereka dinilai sangat rentan.
“Kalau menyelesaikan masalah berarti kan berapa jumlah guru yang belum tersertifikasi, berapa jumlah guru yang statusnya sampai hari ini masih honorer.
Sehingga setiap kali tahun ajaran baru mereka rentan untuk dipecat. Karena statusnya diakui sama negara aja nggak," kritiknya.
"Kalau mau menata pendidikan, salah satu yang prioritas, bagaimana guru ini kedudukannya," pungkas Ubaid.