Suara.com - Indonesia kembali ditegaskan sebagai salah satu negara dengan risiko bencana tertinggi di dunia. Berdasarkan laporan Bank Dunia tahun 2019, Indonesia menduduki posisi kedua setelah Filipina.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Suharyanto saat memberikan kuliah umum di Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatera Barat (Sumbar), Rabu (7/5/2025).
“Indonesia adalah satu dari 35 negara dengan tingkat potensi risiko bencana paling tinggi di dunia,” tegas Letjen TNI Suharyanto.
![Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) Letnan Jenderal (Letjen) TNI Suharyanto saat berkunjung ke Unand, Padang, Rabu (7/5/2025). [Dok.Antara/ Muhammad Zulfikar]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/05/07/71104-bnpb.jpg)
Peringkat tersebut menunjukkan bahwa wilayah Indonesia secara geografis dan geologis sangat rentan terhadap berbagai jenis bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, hingga banjir dan tanah longsor.
Dalam laporan yang sama, di bawah Indonesia terdapat India, Meksiko, Kolombia, Myanmar, Mozambik, Rusia, Bangladesh, dan China. Sedangkan 10 negara dengan paparan bencana tertinggi meliputi China, Meksiko, Jepang, Filipina, Indonesia, Amerika Serikat, India, Kolombia, Australia, dan Rusia.
Menurut Suharyanto, data ini menjadi pengingat kuat bahwa masyarakat Indonesia harus lebih siap dan sadar terhadap potensi bencana. Terutama di wilayah rawan seperti Sumatera Barat, yang masuk dalam kawasan patahan megathrust, sumber gempa besar yang dapat memicu tsunami dahsyat.
Dalam pemaparannya, Suharyanto juga menyampaikan bahwa BNPB mendukung rencana revisi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, karena dinilai perlu menyesuaikan dengan tantangan zaman.
“Mudah-mudahan dalam periode ini, kekurangan yang ada dalam undang-undang itu bisa segera direvisi,” ujarnya.
Selama periode 1 Januari hingga 4 Mei 2025, BNPB mencatat 988 kejadian bencana di Indonesia, dengan jumlah korban meninggal mencapai 165 orang, 20 orang dinyatakan hilang, dan 180 orang mengalami luka-luka. Sebanyak 3.146.674 orang terdampak bencana dengan ribuan lainnya mengungsi.
Sementara itu, kerusakan infrastruktur akibat bencana tak kalah mengkhawatirkan. Tercatat 2.152 rumah rusak berat, 2.728 rusak sedang, dan 9.925 rusak ringan. Selain itu, 78 satuan pendidikan, 58 rumah ibadah, dan sembilan fasilitas kesehatan juga mengalami kerusakan.
Khusus untuk Sumatera Barat (Sumbar), BNPB meminta pemerintah provinsi segera meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat, terutama terkait ancaman megathrust. Pemerintah daerah telah menyatakan komitmennya untuk menyelenggarakan pelatihan siaga bencana kepada masyarakat.
“Pemerintah provinsi sudah sepakat akan melakukan pelatihan kepada masyarakat, sehingga apabila bencana itu benar-benar terjadi, mereka sudah mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan,” ujar Suharyanto.
Megathrust sendiri merupakan istilah ilmiah untuk jenis gempa bumi dengan mekanisme patahan naik yang berpotensi menimbulkan gelombang tsunami.
Meski potensinya telah diketahui secara ilmiah, belum ada ilmuwan di dunia yang dapat memastikan kapan gempa megathrust akan terjadi.
“Tidak perlu panik berlebihan. Yang penting adalah kesiapsiagaan. BNPB selalu berkeliling ke berbagai daerah untuk memberikan pemahaman bahwa waktu kejadian megathrust tidak bisa diprediksi. Seperti halnya kematian, kita hanya bisa mempersiapkan diri,” kata Suharyanto.
Langkah mitigasi dinilai menjadi kunci utama dalam menekan angka korban jiwa jika terjadi bencana besar. Edukasi masyarakat terus digencarkan agar mereka memahami tindakan apa yang harus dilakukan dalam situasi darurat.
Sementara itu, Kepala Stasiun Geofisika Kelas I Padang Panjang, Suaidi Ahadi, menegaskan bahwa patahan megathrust di wilayah Sumatera Barat berpotensi memicu gempa bumi dengan kekuatan magnitudo 8,9 yang dapat disertai tsunami. Penjelasan tersebut disampaikan sebagai bagian dari edukasi, bukan untuk menimbulkan ketakutan.
“Kami sampaikan ini agar masyarakat memahami pentingnya mitigasi. Ini bukan untuk menakuti, tapi untuk menyadarkan,” ujarnya.
Dengan potensi yang besar, BNPB menekankan bahwa kesadaran dan kesiapan menjadi satu-satunya cara untuk memperkecil risiko dan dampak bencana. Indonesia sebagai negara dengan risiko bencana tertinggi kedua di dunia tak punya pilihan lain selain membangun budaya siaga dan tangguh bencana sejak dini. (Antara)