Suara.com - Haji tanpa mahram menjadi salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh kaum wanita yang hendak menunaikan ibadah ke Tanah Suci, Mekkah.
Apakah seorang perempuan diperbolehkan pergi haji tanpa ditemani suami atau kerabat laki-laki?
Jawaban atas pertanyaan tersebut ternyata cukup beragam, baik dari sisi fiqih maupun dari kebijakan resmi pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama (Kemenag).
Dikutip dari berbagai sumber, dalam Islam, haji adalah rukun kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu secara fisik, mental, dan finansial.
![Ibadah haji. [Dok. Antara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/05/17/66303-ibadah-haji.jpg)
Hal ini tertuang dalam Al-Qur’an surah Al-Hajj ayat 27 yang berbunyi:
"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh."
Ayat tersebut menegaskan bahwa perintah haji berlaku bagi seluruh umat Islam tanpa memandang jenis kelamin.
Namun, ketika berbicara soal wanita haji tanpa mahram, terdapat beberapa pendapat dari para ulama serta ketentuan pemerintah yang perlu diketahui.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda:
"Wanita tidak boleh bepergian, kecuali bersama mahramnya." (HR Bukhari)
Hadits ini menjadi dasar utama larangan bagi wanita untuk bepergian jauh tanpa ditemani mahram, termasuk dalam urusan berhaji.
Mahram sendiri didefinisikan sebagai laki-laki yang haram dinikahi secara permanen, seperti ayah, kakak laki-laki, atau anak laki-laki.
Namun, bagaimana jika kondisi tidak memungkinkan untuk membawa mahram?
Berdasarkan buku Tuntunan Manasik Haji dan Umrah terbitan Kementerian Agama RI, wanita boleh menunaikan haji tanpa mahram atau suami selama kondisi aman dan terpenuhi beberapa syarat tertentu. Panduan ini disusun berdasarkan Keputusan Mudzakarah Perhajian Indonesia tahun 2015.
Artinya, jika keamanan haji wanita tanpa mahram dapat dijamin, maka tidak ada larangan secara mutlak. Dalam praktiknya, Kemenag juga menerapkan sistem kloter (kelompok terbang) yang diawasi dan dikoordinasikan oleh petugas resmi, sehingga faktor keamanan jamaah wanita terjaga.
Pendapat Ulama
Dalam literatur Fiqh As Sunnah karya Sayyid Sabiq, disebutkan bahwa sebagian besar ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menyatakan keberadaan mahram adalah syarat bagi wanita untuk berhaji.
Namun, dalam mazhab Syafi’i terdapat perbedaan pendapat yang lebih longgar.
Al Hafiz dalam penjelasannya menyebutkan bahwa kehadiran suami, mahram, atau sejumlah perempuan terpercaya sudah cukup untuk menemani wanita berhaji.
Bahkan, sebagian ulama berpendapat cukup satu perempuan terpercaya untuk mendampingi, asalkan perjalanan haji wanita aman.
Meski terdapat perbedaan pendapat mengenai syarat keberangkatan, sebagian besar ulama sepakat bahwa haji wanita tanpa mahram tetap sah secara hukum syar’i.
Pendapat ini disampaikan oleh Sayyid Sabiq dan diperkuat oleh pandangan ulama besar seperti Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah menyatakan, seorang wanita yang berhaji tanpa mahram, atau seseorang yang memaksakan diri berhaji meski tidak mampu secara finansial, tetap sah hajinya.
Hal ini menunjukkan bahwa keabsahan ibadah tidak selalu terikat pada kehadiran mahram, selama syarat dan rukun haji lainnya terpenuhi.
Melihat dinamika pendapat ulama serta panduan resmi dari Kemenag RI, wanita yang ingin berhaji tanpa suami atau mahram bisa melakukannya selama dalam kondisi aman dan mengikuti mekanisme resmi.
Meski begitu, kehadiran mahram tetap menjadi pilihan utama dalam menjaga syariat dan keamanan.
Dengan semakin baiknya sistem pelayanan haji oleh pemerintah, termasuk pengawasan terhadap jamaah wanita, wanita haji tanpa mahram bukan lagi hal yang mustahil selama mengikuti aturan yang ditetapkan.