Suara.com - Amnesty International Indonesia menyoroti ironi kebebasan sipil. Lembaga hak asasi manusia ini mengungkap bahwa 903 orang telah menjadi korban kriminalisasi melalui pasal-pasal karet sejak 2018.
Kenyataan ini merupakan fakta yang bertabrakan langsung dengan ajakan Presiden Prabowo Subianto agar publik tidak berhenti mengkritik pemerintah.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, secara terbuka mengkritisi pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto yang disampaikan di Gedung DPR, Jumat (15/8/2025) lalu.
Dalam pidatonya, Prabowo menyatakan butuh koreksi dan pengawasan, bahkan secara eksplisit meminta agar kritik tidak dihentikan.
Namun, Usman Hamid melihat adanya jurang antara retorika dan realita di lapangan.
"Faktanya masih banyak warga mengalami kriminalisasi hanya karena bicara kritis. Bahkan Presiden tidak menyebut pelanggaran HAM masa lalu sama sekali,” kritik Usman dalam keterangannya, Minggu (17/8/2025).
Ratusan Kasus Sejak 2018
Kritik tajam Amnesty didasarkan pada data pemantauan komprehensif yang dilakukan sejak lembaga tersebut berdiri di Indonesia pada akhir 2017.
Sejak Januari 2018 hingga Juli 2025, tercatat 903 orang terjerat dalam 796 kasus hukum berbeda.
Baca Juga: Semangat Kemerdekaan Dipertanyakan, Ekspresi Politik Damai Masih Berujung Tuduhan Makar
Mereka menjadi korban pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mencakup delik seperti penyebaran kebencian, pencemaran nama baik, hingga makar.
Metodologi pengumpulan data ini melibatkan pemantauan media, verifikasi laporan dari lembaga masyarakat sipil, jaringan di daerah, serta analisis dokumen-dokumen pengadilan.
Menjauhi Spirit Kemerdekaan
Usman menilai, situasi ini sangat bertentangan dengan spirit awal kemerdekaan Indonesia.
Menurutnya, perjuangan hak asasi manusia adalah pijakan utama perlawanan terhadap penindasan kolonial, yang digerakkan oleh tokoh-tokoh seperti Kartini, Maria Ulfah, hingga Soekarno dan Hatta.

“Bung Karno bahkan berpesan agar kita 'Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah,' artinya pelanggaran HAM masa lalu tidak boleh diputihkan, termasuk melalui penghapusan fakta historis pelanggaran HAM masa lalu," katanya.