Suara.com - Indeks Kesehatan Laut (IKL) atau Ocean Health Index (OHI) global tahun ini hanya mencatatkan skor rata-rata sebesar 69 dari total maksimum 100.
Skor ini menunjukkan bahwa kondisi lautan dunia berada dalam tekanan serius dan jauh dari kondisi ideal.
Indonesia pun tak luput dari ancaman ini, bahkan menunjukkan tren penurunan yang perlu segera ditanggulangi.
Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Jonson Lumban Gaol, Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam keterangannya di Bogor.
“Skor rata-rata IKL Indonesia dari tahun 2012 hingga 2024 berada pada angka 65,8 dan untuk tahun 2025 diperkirakan turun menjadi 61, lebih rendah dari skor global,” ujar Prof. Jonson dalam tulisannya, Ahad 8 Juni 2025.
Lautan, Sumber Kehidupan yang Terancam
Lautan menutupi lebih dari 70 persen permukaan bumi dan memainkan peran penting dalam menopang kehidupan manusia.
Laut menyediakan sumber daya hayati dan non-hayati, menjadi pemasok utama protein hewani dari ikan.
Sekaligus menyimpan potensi energi, bahan obat-obatan, dan menjadi jalur transportasi utama dunia.
Baca Juga: 9 Kebiasaan Sehari-hari Ini Bisa Bantu Kurangi Sampah Plastik
Namun dalam 50 tahun terakhir, berbagai ancaman serius menghantui ekosistem laut. Utamanya karena pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat.
Data menunjukkan bahwa populasi dunia naik dari 4,07 miliar jiwa (1975) menjadi 8,23 miliar jiwa (2025).
Peningkatan ini turut mendorong eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya laut.
“Overfishing, polusi, dan perubahan iklim menjadi faktor dominan yang mengancam keberlanjutan laut. Bahkan, laporan FAO menunjukkan bahwa stok ikan dunia berada di bawah batas aman,” tegas Prof. Jonson.
Sampah Plastik: Ancaman Nyata dari Daratan
Selain penangkapan ikan berlebih, lautan juga terancam oleh polusi dari darat, terutama sampah plastik.
Data dari Badan Lingkungan Dunia (UNEP) menyebutkan bahwa lebih dari 8 juta ton sampah plastik masuk ke lautan setiap tahun.
Indonesia bahkan masuk dalam 10 negara penyumbang sampah plastik terbesar ke laut.
Prof. Jonson menyebut bahwa kondisi ini menjadi latar belakang pentingnya pengembangan indikator Indeks Kesehatan Laut (IKL) oleh komunitas ilmiah dunia.
Tentang Ocean Health Index (OHI)
OHI pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Ben Halpern dari University of California, Santa Barbara, Amerika Serikat, dan dipublikasikan dalam jurnal Nature tahun 2012.
Dengan judul “An Index to Assess the Health and Benefits of the Global Ocean.”
Indeks ini bertujuan untuk mengukur kapasitas laut dalam menyediakan berbagai jasa ekosistem secara berkelanjutan.
Ada 10 komponen utama yang digunakan dalam pengukuran OHI, yaitu:
1. Akses nelayan kecil terhadap sumber daya
2. Produk laut alami
3. Keanekaragaman hayati
4. Dampak ekonomi kelautan
5. Pariwisata dan rekreasi
6. Perlindungan pantai
7. Penyimpanan karbon
8. Budaya pesisir
9. Kebersihan air laut
10. Ketersediaan pangan dari laut
Nilai IKL Indonesia: Perlu Perhatian Serius
Berdasarkan data OHI terbaru, nilai IKL Indonesia 2025 berada di angka 61, menempatkan Indonesia di peringkat 189 dari 220 negara.
Beberapa aspek mencatat skor sangat rendah dan mengindikasikan lemahnya pengelolaan sektor kelautan nasional:
- Pariwisata dan Rekreasi (skor 9): Potensi wisata laut Indonesia belum dimanfaatkan secara berkelanjutan.
- Penyediaan Pangan (skor 25): Menunjukkan ancaman terhadap keberlanjutan stok ikan.
- Budaya Pesisir (skor 58): Nilai kearifan lokal dalam menjaga laut belum tergali maksimal.
- Produk Laut Alami (skor 59): Bioprospecting dan sumber mineral laut belum dioptimalkan.
- Kebersihan Air Laut (skor 62): Tekanan akibat sampah plastik dan limbah masih tinggi.
Namun demikian, ada juga lima aspek yang mencatat skor di atas 70, menandakan adanya potensi untuk pemulihan jika dikelola dengan baik.
Rekomendasi untuk Pengelolaan Laut Berkelanjutan
Prof. Jonson menekankan bahwa data IKL harus menjadi dasar pengambilan kebijakan nasional dalam sektor kelautan.
Ia menegaskan pentingnya penyediaan data kelautan dan perikanan yang akurat dan transparan, agar penilaian OHI mencerminkan kondisi sebenarnya.
“Kalau data tidak lengkap atau tidak akurat, bisa merugikan Indonesia sendiri dalam peta kelautan global,” ungkapnya.
Sebagai bagian dari peringatan Hari Laut Sedunia, Prof. Jonson juga menyarankan langkah-langkah strategis, antara lain:
- Penegakan hukum laut: Tindak tegas praktik overfishing dan illegal fishing.
- Perluasan kawasan konservasi laut: Target pemerintah adalah 10% dari total laut Indonesia pada 2030 dan 30% pada 2045.
- Pengurangan sampah plastik dari hulu: Perluas kebijakan pelarangan plastik sekali pakai dan penguatan sistem daur ulang di rumah tangga dan industri.
- Pelibatan masyarakat pesisir: Kearifan lokal seperti sasi laut dan awig-awig perlu dilestarikan.
- Teknologi ramah lingkungan: Dorong penggunaan alat tangkap ikan berkelanjutan.
Kesadaran Bersama untuk Masa Depan Laut
Prof. Jonson berharap peringatan Hari Laut Sedunia tidak hanya menjadi seremoni tahunan.
Tetapi momentum untuk meningkatkan kesadaran kolektif bahwa laut adalah pilar kehidupan manusia yang harus dijaga.
“Laut bukan hanya sumber makanan, tapi juga sumber kehidupan dan masa depan umat manusia. Menjaganya adalah tanggung jawab kita bersama,” tutup Jonson.