Suara.com - Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo, Heru Sutmantoro mendapatkan ancaman pembunuhan. Mengerikannya, ancaman tersebut ditulis secara terbuka di tembok balai.
Laman Instagram Balai Taman Nasional Tesso Nilo memperlihatkan tulisan di tembok kantornya, 'Kepala balai, cabut laporanmu atau kepalamu kami cabut'. Demikian postingan yang hadir pada 16 Juni 2025.
Ancaman tersebut hadir saat mereka tengah melindungi kawasan konservasi Taman Nasional Teso Nilo.
"Ini bukan sekadar tugas, tapi amanah," demikian keterangan yang hadir di akun tersebut.
Nyatanya, gangguan terhadap mereka yang sedang melindungi kawasan konservasi Taman Nasional Teso Nilo, tidak terjadi sekali. Kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) 1 di Lubuk Kembang Bunga, diserang sekelompok oknum.
Serangan itu sebagai respons atas tidak setujunya sejumlah orang dengan edaran yang dikeluarkan Balai TNTN mengenai larangan diterbitkannya Surat Keterangan Tanah (SKT) di kawasan konservasi.
"Kami anti TNTN, UUD Pasal 30," demikian tulisan yang hadir di tembok Kantor SPTN.
Meski selalu mendapat penghalauan, mereka berusaha menjaga taman konservasi.
"Sabar dan istiqomah adalah kunci kami. Kami percaya, hutan yang dijaga hari ini akan menjadi nafas bagi kehidupan esok," ucapnya.
Baca Juga: 7 Fakta Mengejutkan Ladang Ganja di Bromo: Skandal di Balik Kawasan Konservasi
Sebagai informasi, Taman Nasional Tesso Nilo berada dalam kondisi pelik. Pertama, adanya kasus perkebunan sawit ilegal dan warga yang sebenarnya sudah ada di sana sebelum dicetuskannya Tesso Nilo sebagai taman nasional.
Kejaksaan Agung menemukan adanya alih fungsi kawasan konservasi menjadi lahan perkebunan sawit ilegal. Dari luas lahan hutannya yang mencapai 81.793 hektare, kini tersisa 12.561 hektare.
Padahal seperti dalam keterangan di atas, Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) merupakan rumah bagi gajah dan harimau Sumatera, serta ribuan flora dan fauna lainnya.
Semakin menyempitnya kawasan konservasi itu disebabkan pembalakan liar dan alih fungsi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan.
Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut pihaknya juga menemukan dugaan korupsi alih fungsi lahan TNTN yang melibatkan aparat setempat.
"Penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di dalam kawasan hutan TNTN, serta dugaan tindak pidana korupsi oleh oknum aparat," kata Burhanuddin pada Jumat 13 Juni 2025 lalu.
Adanya perkebunan sawit ini tejadi sudah cukup lama, yakni di 1999 dan meluas setahun setelahnya.
Pada 2015, masa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pernah melakukan revitalisasi ekosistem Taman Nasional Tesso Nilo untuk mengembalikan kelestarian alam di kawasan tersebut.
Namun kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, Boy Jerry Even Sembiring, upaya penindakan itu tersendat pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
Sebab dalam undang-undang ini terdapat pasal yang memutihkan dosa perusahaan perkebunan yang membuka lahan di kawasan hutan.
Selain itu, warga yang tinggal di sana, juga harus diperhatikan haknya. Sebab mereka sudah lebih dulu mendiami kawasan itu sebelum ditetapkan sebagai taman nasional pada 2004.
Dalam pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin memang mengakui di kawasan TNTN sudah berdiri permukiman, bahkan terdapat sekolah dan rumah ibadah.
Namun, kata Boy, luas lahan pemukiman warga di sana tidak sebanding dengan lahan hutan yang diubah menjadi perkebunan sawit.