Janji-janji manis bernuansa sosialistik dan populis, seperti program makan siang gratis, dinilai akan berbenturan keras dengan kondisi fiskal yang tertekan.
"Pidato Prabowo yang sosialistik dan populis bertabrakan dengan kebijakan turunan, seperti pemotongan belanja publik di tengah meningkatnya pengangguran dan PHK," jelasnya.
Rocky mengingatkan, kondisi ini menciptakan sebuah paradoks berbahaya.
Di satu sisi, ada janji belanja besar untuk rakyat, namun di sisi lain, ada ancaman pemotongan anggaran publik yang justru dibutuhkan untuk menstimulasi ekonomi.
Menurut teori ekonomi Keynesian, saat ekonomi sedang lesu dan daya beli menurun, seharusnya negara meningkatkan belanja publik (government spending) untuk 'memompa' perputaran uang, bukan sebaliknya.
Pesan Rocky jelas: Prabowo berada di persimpangan jalan.
Ia bisa memilih untuk melanjutkan narasi optimis pendahulunya dengan risiko kebijakannya meleset, atau berani tampil beda dengan mengakui kenyataan pahit sebagai langkah awal untuk perbaikan fundamental.
Publik kini menanti apakah Prabowo akan memilih jalan kejujuran radikal demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Baca Juga: Meski Prabowo Menang, Muzani Wanti-wanti Kader Gerindra Jangan Sombong