Suara.com - Sebuah utas tali rafia berwarna kusam yang melilit sebuah tas sekolah di bangku paling depan berhasil menyita perhatian warganet.
Di sebuah ruang kelas sekolah dasar yang masih lengang, lima hari sebelum bel tahun ajaran baru dimulai, seorang ibu melakukan sebuah aksi yang sederhana namun sarat makna.
Mengikat erat tas anaknya menggunakan tali di bangku bagian depan kelas, seolah memberi sebuah harapan agar sang buah hati tidak tersingkir dari barisan terdepan dalam perjalanan menimba ilmu.
Aksi yang terekam dan menjadi viral melalui akun TikTok @yuyunrahayumc ini dengan cepat melampaui statusnya sebagai konten hiburan semata.
Ia menjelma menjadi sebuah cermin sosial, memantulkan kecemasan, harapan, dan perjuangan orang tua yang memicu diskusi sengit di dunia maya tentang batas antara kasih sayang dan pelanggaran aturan.
Video yang menjadi pusat perbincangan itu menampilkan pemandangan yang tak biasa.
Di tengah deretan bangku kosong yang telah ditandai oleh tas-tas lain, satu tas di barisan depan tampak berbeda.
Ia terikat kuat pada meja dan kursi menggunakan tali rafia, sebuah metode booking tempat yang primitif namun efektif untuk mengirim pesan, kursi ini sudah ada pemiliknya.
Narasi suara dalam video, yang diduga milik seorang guru di sekolah tersebut, mengungkapkan latar belakang di balik aksi nekat itu.
Baca Juga: 6 Rekomendasi Tas Sekolah Anak Perempuan: Desain Gemas dan Tahan Air, Mulai Rp100 Ribuan
Sang ibu, diliputi kekhawatiran, sengaja melakukannya agar anaknya dipastikan mendapat posisi terbaik di kelas.

“Drama tali rafia pagi ini. Seorang wali murid booking bangku depan lengkap dengan tali rafia, katanya biar anaknya duduk di depan terus. Takut kebagian duduk di belakang,” demikian bunyi narasi dalam video tersebut.
Ironisnya, perjuangan sang ibu ternyata tidak perlu. Pasalnya pihak sekolah, seperti banyak institusi pendidikan modern lainnya, telah menerapkan sistem yang adil.
“Bu, padahal sistem kelas kita sudah rapi. Tempat duduk dirolling tiap Minggu. Semua anak kebagian depan-belakang secara adil, tapi ibu nggak paham terus,” terang sang ibu.
Fenomena tali rafia ini dengan cepat membelah warganet menjadi dua kubu yang saling berhadapan.
Di satu sisi, ada yang mengecam tindakan tersebut sebagai sikap egois yang tidak menghargai aturan.
Namun di sisi lain, lahir gelombang empati yang jauh lebih besar, yang memilih untuk melihat lebih dalam dari sekadar lilitan tali tersebut.
Bagi banyak orang, terutama sesama orang tua, aksi itu adalah manifestasi dari effort (usaha) dan cinta tanpa batas.
Salah seorang warganet menyuarakan perasaan ini dengan begitu menyentuh.
“Sebenarnya itu effort seorang ibu yang pengen sekali anaknya cerdas dan sukses ke depannya. Aku seorang ibu, sedih lihat ekspresi wajah ibunya yang sangat ketakutan," tulis salah satu netizen.
Komentar ini juga menyoroti aspek etika dari viralnya video tersebut. Banyak yang menyayangkan keputusan guru untuk merekam dan menyebarkannya, yang dianggap sebagai bentuk perundungan digital.
“Harusnya diberitahu secara baik-baik, bukan divideokan,” imbuh akun tersebut, mewakili suara ribuan orang yang merasa sang ibu telah dipermalukan di depan umum.
Perdebatan tidak berhenti pada soal etika dan empati. Netizen lain membawa diskusi ke ranah yang lebih luas, mengaitkannya dengan kesenjangan sosial dan ekonomi dalam dunia pendidikan.
“Nggak semua orang bisa sekolahin anaknya di swasta. Ada juga yang pilih sekolah negeri biar dana disiapkan buat jenjang berikutnya. Semua orang beda kondisi,” tulis lainnya.
Komentar ini membuka mata bahwa bagi sebagian orang tua dengan sumber daya terbatas, memastikan anaknya duduk di depan di mana ia bisa lebih fokus dan diperhatikan guru.
Sementara itu, dari perspektif pendidik, fenomena ini bukanlah hal baru. Banyak guru yang mengaku sering menghadapi totalitas orang tua yang kadang melampaui batas aturan di setiap awal tahun ajaran.
Pada akhirnya, kisah tali rafia ini menjadi pengingat yang kuat. Ia bukan lagi tentang perebutan bangku, melainkan tentang jurang antara niat baik dan cara penyampaian antara kecemasan orang tua dan sistem pendidikan yang ada.
Tali rafia dijadikan potret harapan besar seorang ibu yang dengan caranya sendiri, berjuang sekuat tenaga untuk memastikan masa depan anaknya lebih cerah dari seutas tali rafia yang mengikat tasnya.