Suara.com - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi memberi solusi para pelaku di bidang pariwisata untuk meningkatkan kunjungan wisatawan.
Dedi Mulyadi yang sempat dipojokkan karena larangan Study Tour dianggap membuat objek wisata menjadi sepi.
Padahal, aturan yang dikeluarkan oleh Dedi Mulyadi berupa larangan Study Tour tersebut untuk meringankan beban orangtua.
Sementara para pelaku di bidang pariwisata kini merasa semakin sepi orderan, bahkan hanya hitungan jari.
Menurut Dedi, Solusi untuk meningkatkan kepariwisataan dan semacamnya bukan hanya soal adanya Study Tour saja.
Dedi sontak menyebutkan satu per satu hal-hal yang bisa dilakukan pemerintah daerah guna meningkatkan kepariwisataan tersebut.
Yang pertama harus dilakukan untuk meningkatkan kunjungan wisata di daerah adalah dengan meningkatkan kebersihan Kabupaten/Kota.
“Apabila ingin meningkatkan kunjungan wisata di daerahnya, menurut saya adalah tingkatkan kebersihan kotanya/kabupaten,” terang Dedi, dikutip dari tiktoknya, Senin (28/7/25).
Selain itu juga bisa mulai meningkatkan tata estetika, seperti membersihkan bangunan-bangunan yang kumuh, hingga Sungai-sungai yang penuh dengan sampah,
Baca Juga: Diprotes Gegara Larangan Study Tour, Dedi Mulyadi Beri Saran Naikkan Pariwisata
“Kemudian tingkatkan tata estetika Kabupaten/Kotanya, tidak boleh ada bangunan – bangunan yang kumuh, Sungai-sungainya harus bersih dan tertata,” ujarnya.
Selain itu, Dedi mengatakan bahwa pentingnya menjaga bangunan Sejarah, karena estetikanya begitu menarik banyak orang.
Tak hanya soal kebersihan lingkungan saja, Dedi juga menggarisbawahi soal pungutan-pungutan liar. Hal ini terkadang yang membuat wisatawan enggan untuk Kembali.
“Bangunan – bangunan heritage juga harus dijaga estetikanya dengan baik,” jelasnya.
“Bebaskan juga berbagai pungutan liar, seperti parkir liar, calo tiket, atau kadang dalam satu objek ada dua tiket yang dibuat,” tambahnya.
Setelah merapikan semua bangunan hingga terlihat bersih, kemudian bisa mulai menata para pedagang.
“Kemudian yang berikutnya adalah tata para pedagangnya agar mereka menyajikan dagangan yang berkualitas, tidak menggetok para pembelinya,” tegasnya.
Selain bangunannya, manusianya juga perlu ditata menurut Dedi, seperti contohnya mengembangkan para pemandu wisata.
“Para pemandu wisatanya juga harus dikembangkan dengan baik,” ungkapnya.
“Membangun keamanan dalam lingkungan tempat kunjungan wisatanya,” tambahnya.
Dari semua aspek yang sudah dijelaskan oleh Dedi, jika diterapkan dengan baik dan benar tentu secara sendirinya akan menarik wisatawan.
“Kalau semuanya dilakukan, daerahnya tertata, bersih, para pedagangnya jujur tidak ada pungli, ada rasa nyaman, infrastrukturnya harus dibangun agar tidak terjadi kemacetan yang panjang ketika musim kunjungan wisata,” urainya.
“Kalau seluruhnya dikembangkan oleh kita semua, oleh Gubernur/Bupati/Wali Kota, jangan khawatir, wisatawan akan datang berbondong-bondong, karena mereka merasa nyaman,” sambungnya.
Larangan Study Tour
Gubernur Dedi Mulyadi juga sempat menanggapi sejumlah kepala daerah di wilayahnya yang kini tidak sejalan dengan aturan Dedi.
Dedi memberlakukan larangan Study Tour dengan alasan perekonomian yang memberatkan orang tua siswa.
Sejumlah Kota/Kabupaten kini tetap memperbolehkan study tour dengan berbagai syarat. Seperti yang dilakukan oleh Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, Bupati Bandung Dadang Supriatna dan Bupati Cirebon Effendi Edo.
Dedi menyebut bahwa Keputusan itu tidak mengindikasikan landasan moral maupun akademis yang kuat.
Pemberian izin itu menurut Dedi justru menunjukkan bahwa anak-anak sekolah dijadikan sebagai sarana untuk meraup keuntungan ekonomi.
“Ada beberapa bupati dan wali kota yang menjadi tujuan wisata yang dibungkus oleh study tour mengalami kegelisahan sehingga cenderung untuk memberlakukan Kembali study tour di sekolah-sekolah dengan berbagai catatan,” ujar Dedi.
“Menjadikan anak sekolah sebagai objek peningkatan kunjungan pariwisata adalah perbuatan yang tidak memiliki landasan berpikir akademis dan moral,” sambungnya.
Menurut Dedi, praktik tersebut adalah Tindakan eksploitasi terhadap anak-anak.
Pihaknya menyinggung adanya pungutan biaya tambahan seperti membeli Lembar Kerja Siswa (LKS), Buku hingga seragam.
Baginya, hal tersebut merupakan bentuk pemanfaatan murid untuk mendapatkan keuntungan finansial.
Kontributor : Kanita