Suara.com - Kasus fitnah terhadap mantan Wakil Presiden (Wapres) RI, Jusuf Kalla, yang menyeret Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), Silfester Matutina, kembali menjadi sorotan.
Meski telah dijatuhi vonis 1,5 tahun penjara sejak 2019, Silfester yang merupakan loyalis garis keras Joko Widodo (Jokowi) belum juga ditahan untuk menjalani hukuman tersebut hingga saat ini.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung), Anang Supriatna, menegaskan bahwa putusan pengadilan terhadap perkara Silfester sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Atas dasar itu, Kejagung menilai tak ada lagi alasan untuk menunda eksekusi terhadap tokoh relawan yang dikenal dekat dengan Presiden ke-7 RI itu.
“Harus dieksekusi, harus segera (ditahan), kan sudah inkrah. Kita enggak ada masalah semua,” kata Anang kepada awak media pada Senin (4/8/2025).
Vonis terhadap Silfester berkaitan dengan orasinya pada 15 Mei 2017 yang dianggap mencemarkan nama baik Jusuf Kalla, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI.
Dalam orasi tersebut, Silfester menyebut JK sebagai "akar permasalahan bangsa" dan menuduhnya menggunakan isu rasis demi memenangkan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
"Jangan kita dibenturkan dengan Presiden Joko Widodo. Akar permasalahan bangsa ini adalah ambisi politik Jusuf Kalla," ucap Silfester saat itu.
Ia juga menuding JK hanya berkuasa demi kepentingan Pilpres 2019 serta untuk mendukung korupsi di daerah asalnya.
“Kita miskin karena perbuatan orang-orang seperti JK. Mereka korupsi, nepotisme, hanya perkaya keluarganya saja,” lanjut Silfester.
Pernyataan tersebut memicu pelaporan ke polisi oleh pihak JK. Kuasa hukum Jusuf Kalla, Muhammad Ihsan, mengungkap bahwa awalnya kliennya enggan mengambil langkah hukum.
Namun, desakan dari keluarga dan masyarakat di kampung halaman JK di Sulawesi Selatan membuat JK akhirnya menyetujui pelaporan tersebut.
"Desakan keluarga membuat Pak JK tak bisa menolak. Akhirnya Pak JK mengatakan jika langkah hukum dianggap yang terbaik, silakan dilakukan langkah hukum," kata Ihsan.
Dua tahun setelah orasi itu, tepatnya pada 2019, pengadilan memvonis Silfester dengan hukuman 1,5 tahun penjara. Namun, hingga memasuki Agustus 2025, belum ada penahanan dilakukan.
Desakan agar eksekusi segera dilakukan juga mencuat di media sosial, seiring munculnya kembali pemberitaan kasus ini. Pengamat hukum pidana menyebut penundaan eksekusi terhadap putusan yang sudah inkrah bisa merusak kredibilitas penegakan hukum di Indonesia.