-
Desakan Bencana Nasional Relevan: Desakan Anies Baswedan agar bencana Aceh/Sumatera ditetapkan sebagai bencana nasional dianggap relevan oleh pakar UIKA, Nandang Sutisna, karena skala bencana melampaui kapasitas daerah.
-
Kebutuhan Manajemen Publik: Penetapan status bencana nasional adalah kebutuhan manajerial untuk membuka akses APBN, mempercepat koordinasi, dan memastikan pemulihan berjalan serentak, terukur, serta berkelanjutan.
-
Keterlibatan Negara Mencegah Krisis: Keterlibatan penuh negara melalui penetapan status bencana nasional adalah strategis untuk mencegah krisis berkepanjangan dan mewujudkan tanggung jawab negara kesejahteraan.
Suara.com - Perdebatan mengenai penanganan bencana banjir bandang dan longsor yang meluluhlantakkan Aceh serta sejumlah wilayah di Sumatera terus bergulir.
Di tengah situasi krisis ini, Pakar Manajemen Publik dari Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, Nandang Sutisna, angkat bicara.
Ia menilai desakan tokoh nasional Anies Baswedan agar pemerintah pusat menetapkan status Bencana Nasional adalah langkah yang sangat logis, relevan, dan mendesak.
Pernyataan ini disampaikan Nandang di Jakarta pada Sabtu (13/12/2025), merespons kondisi lapangan yang semakin memprihatinkan.
Menurutnya, melihat skala kerusakan yang masif, narasi ini harus dilepaskan dari kacamata politik praktis dan dilihat sebagai urgensi kemanusiaan serta tata kelola negara.
Alasan utama mengapa status Bencana Nasional menjadi harga mati adalah faktor finansial dan kapasitas.
Nandang memaparkan data yang mengejutkan estimasi kebutuhan anggaran untuk rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah terdampak diperkirakan melampaui angka Rp50 triliun.
Angka fantastis ini jelas menjadi beban fiskal yang tidak realistis jika hanya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tanpa intervensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang masif, daerah akan kolaps.
“Keputusan ini bukan soal politik, melainkan soal kemampuan negara dalam merespons bencana berskala besar. Dari perspektif manajemen publik, penetapan bencana nasional merupakan sebuah kebutuhan,” tegas Nandang.
Baca Juga: Mampukah Dana Siap Pakai dalam APBN ala Prabowo Bisa Pulihkan Sumatera?
Dengan status Bencana Nasional, pintu akses pembiayaan dari pusat akan terbuka lebar. Koordinasi lintas kementerian dan lembaga pun bisa berjalan satu komando, memastikan proses pemulihan berjalan serentak, terukur, dan berkelanjutan.
Nandang juga mengingatkan pemerintah akan sejarah kelam pasca-tsunami jika penanganan tidak dilakukan secara ekstraordinari. Ia merujuk pada peringatan mantan pejabat Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh–Nias.
Tanpa keterlibatan penuh negara alias business as usual, pemulihan wilayah terdampak bisa memakan waktu 20 hingga 30 tahun.
“Peringatan dari mantan pejabat BRR tersebut memperkuat urgensi penetapan bencana nasional. Jika negara tidak mengambil alih secara penuh sejak awal, masyarakat akan menanggung dampak pemulihan yang terlalu panjang,” ujarnya.
Menurutnya, ada andil besar dari kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia dan lemahnya pengawasan negara, mulai dari pembabatan hutan, ekspansi perkebunan, pertambangan, hingga pelanggaran tata ruang.
“Hujan adalah fenomena alam. Namun banjir bandang dan longsor yang merusak permukiman serta menelan korban jiwa merupakan akumulasi dari kebijakan dan lemahnya pengendalian. Dalam konteks ini, negara harus melihat masalah secara menyeluruh supaya bencana serupa tidak terjadi di masa yang akan datang,” kata Nandang.