Akibatnya, Samin ditangkap dan diasingkan ke Sawahlunto, Sumatera Barat, hingga akhir hayatnya.
Kini, lebih dari seabad kemudian, semangat perlawanan itu kembali beresonansi di tanah Pati.
Jika dulu Samin melawan pajak yang ditetapkan penjajah Belanda, kini warga Pati melawan kenaikan PBB yang ditetapkan oleh pemerintah daerahnya sendiri.
Benang merahnya jelas: perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap membebani dan tidak berpihak pada nasib wong cilik.
Kenaikan PBB hingga 250 persen dilihat sebagai bentuk ketidakadilan baru, sebuah kebijakan yang mengulang narasi lama di mana penguasa membebani rakyatnya.
Aksi massa yang berani menghadapi bupatinya secara langsung, meski dalam cara yang emosional, menunjukkan bahwa DNA perlawanan ala Samin, keberanian untuk mengatakan 'tidak' pada penguasa, masih mengalir deras di nadi masyarakat Pati.