Suara.com - Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) bersama Amnesty International Indonesia mengeluarkan pernyataan sikap menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke 80 tahun.
AKSI terdiri dari aktivis hingga akademisi seperti Jaksa Agung 1999-2001, Marzuki Darusman, Profesor Antropologi Hukum Sulistyowati Irianto, Direktur Lab45 Jaleswari Pramodhawardani, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, dan Amirrudin. Selain itu, ada juga tiga sejarawan Asvi Warman Adam, Andi Achdian, dan Firda.
Mereka menyatakan menjelang usia kemerdekaan Indonesia ke 80 tahun kebijakan negara justru mengarah menuju penyengsaraan, jauh dari mensejahterakan rakyat.
AKSI menilai para pemimpin tak lagi berpikir menempatkan bangsa Indonesia bermartabat dan sejajar dengan bangsa lain.
"Tapi justru merampok kekayaan negeri untuk diri pribadi, kelompok. Potret suram ini diperparah dengan kaum cerdik pandai atau sejarawan yang mencoba memanipulasi ingatan dan sejarah dengan tidak menuliskan pengalaman kelam dan traumatik yang terjadi pada rakyat," ujar Firda membacakan pernyataan sikap AKSI di Amnesty Internasional Indonesia, Kamis (14/8/2025).
Selain itu mereka juga memandang bahwa pemerintah era reformasi gagal mengubah Negara Keamanan Nasional ala rezim Soeharto. Indonesia kehilangan kesempatan mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
"Situasi seperti itu juga membuat 10 bulan Pemerintahan Prabowo Subianto dengan cepat menunjukkan ciri-ciri dan perangai Orde Baru, yaitu militeristik, penggunaan kekerasan, teror, mengabaikan hak asasi manusia, dan anti intelektual," kata Firda.
"Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia yang peduli terhadap negeri ini berharap para pemimpin dan pemegang amanat rakyat tidak lagi mempermainkan suara rakyat, memanipulasi ingatan dan sejarah, dan fokus pada pembangunan negeri ini menuju kehidupan yang lebih bermartabat, adil, dan menjunjung hak asasi manusia," sambungnya.
Pernyataan sikap tersebut mereka beri judul 80 Tahun Indonesia Merdeka: AKSI ingatkan bahaya Kemerosotan Republik yang terdiri dari empat poin utama:
Baca Juga: Nova Arianto: Timnas Indonesia U-17 Siap Tempur Lawan Uzbekistan
- Pemerintah Indonesia tengah mendorong Indonesia ke dalam kemerosotan nasional (national decline) dari segi kerakyatan, dengan hancurnya sendi-sendi pemerintahan demokratis yang kini digantikan oleh Negara Keamanan Nasional.
- Prinsip Negara Keamanan Nasional telah dibangun sejak pengambilalihan kekuasaan pada 1965 dan diteruskan pada masa 30 tahun sesudah Orde Baru, melalui pemusatan kekuasaan dan manipulasi undang-undang.
- Rakyat dilumpuhkan kesadaran sejarahnya serta kedaulatannya sebagai manusia yang berpikir sehingga melahirkan masyarakat yang pasif dan apolitis.
- Negara berdiri di atas infrastruktur impunitas, ketiadaan akuntabilitas terhadap pelanggaran HAM yang berat masa lalu yang menanamkan ketakutan dan kecemasan bagi generasi muda melalui jargon ‘bahaya laten’, ‘ancaman asing’, dan ‘antek asing’, atas nama nasionalisme darurat yang agresif. Padahal, yang dibutuhkan Indonesia adalah nasionalisme kemanusiaan yang progresif.
Untuk itu mereka menyampaikan tiga tuntutan, yakni:
- Mendesak pemerintah mencabut berbagai kebijakan yang membawa kemerosotan nasional, seperti kebijakan penulisan ulang sejarah, penetapan hari kebudayaan nasional, dan pemberian gelar kehormatan untuk orang-orang yang jelas telah merusak sendi-sendi kemanusiaan dan kebangsaan di masa silam
- Mendesak pemerintah menghentikan praktik-praktik otoriter melalui kebijakan atau upaya lainnya yang mematikan sendi-sendi demokrasi, termasuk yang melumpuhkan fungsi partai politik dalam permusyawaratan perwakilan rakyat, seperti pembentukan Koalisi Indonesia Maju,
- Mendesak pemerintah menghentikan kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi melalui berbagai instrumen hukum dan tindak kekerasan aparat terhadap berbagai elemen masyarakat yang bersuara kritis.