Suara.com - Lagi-lagi, pernyataan pejabat publik memantik api di tengah masyarakat.
Kali ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjadi sorotan setelah menyebut bahwa membayar pajak memiliki esensi yang sama mulianya dengan menunaikan zakat atau wakaf.
Pernyataan yang bertujuan untuk mendorong kesadaran pajak ini justru dianggap sebagai sebuah blunder komunikasi yang fatal, karena menyamakan dua konsep yang secara fundamental sangat berbeda dalam syariat Islam.
Dalam sebuah acara, Sri Mulyani menyatakan, "Dalam setiap rezeki dan harta yang kamu dapatkan ada hak orang lain."
Ia menjelaskan bahwa hak tersebut bisa disalurkan melalui instrumen zakat, wakaf, maupun pajak yang dikelola negara lewat APBN.
Tujuannya sama, yakni untuk keadilan sosial dan membantu mereka yang membutuhkan, seperti membiayai pendidikan anak dari keluarga tidak mampu hingga memberikan subsidi bagi petani.
Niatnya mungkin baik, namun analogi ini langsung menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama dari para pendakwah dan warganet yang paham betul seluk-beluk ajaran Islam.
Salah satu kritik paling jelas datang dari seorang ustadz melalui media sosialnya, yang menjabarkan mengapa perbandingan ini tidak hanya keliru, tetapi juga berbahaya.
Analogi Keliru: Ustadz Jabarkan Perbedaan Mendasar Pajak dan Zakat
Baca Juga: Prabowo Sentil Komisaris BUMN: Rapat Sebulan Sekali, Tantiem Rp40 Miliar, Tak Suka Berhenti!
Menanggapi pernyataan Menkeu, seorang pendakwah muda, yang aktif berdakwah di Instagram, meluruskan kekeliruan tersebut.
Dalam videonya di Instagram @bang.putra.pradipta, ia menjelaskan bahwa menyamakan pajak dengan zakat adalah tindakan yang tidak tepat dan bisa menyesatkan pemahaman umat.
Menurutnya, ada beberapa perbedaan fundamental yang tidak bisa dinegasikan:
Dasar Kewajiban: Zakat adalah perintah langsung dari Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur'an dan Hadits.
Ia adalah rukun Islam, sebuah ibadah vertikal (kepada Allah) dan horizontal (kepada manusia) yang dilandasi niat untuk mencari ridha-Nya.
Sementara itu, pajak adalah kewajiban yang dibuat oleh negara (manusia) berdasarkan undang-undang.
Ketaatan pada pajak bersifat loyalitas sebagai warga negara, bukan ibadah ritual.
Sifat dan Besaran: Ketentuan zakat bersifat absolut dan permanen.
Nisab (batas minimal harta) dan kadarnya (misal 2,5 persen untuk zakat mal) telah ditetapkan oleh syariat dan tidak bisa diubah oleh siapapun.
Sebaliknya, aturan pajak sangat dinamis. Pemerintah bisa mengubah tarif, objek, dan subjek pajak kapan saja sesuai dengan kebutuhan dan kondisi ekonomi negara.
Penerima Manfaat (Mustahik): Al-Qur'an telah merinci dengan sangat jelas delapan golongan (asnaf) yang berhak menerima zakat, seperti fakir, miskin, amil, mualaf, dan lainnya.
Penyalurannya harus tepat sasaran kepada mereka.
Di sisi lain, penggunaan dana pajak jauh lebih luas dan umum, mencakup pembangunan infrastruktur, gaji aparatur negara, hingga pembayaran utang negara, yang tidak semuanya bersentuhan langsung dengan kelompok rentan layaknya penerima zakat.
Sanksi: Dalam Islam, orang yang menolak membayar zakat dianggap telah melakukan dosa besar karena mengingkari perintah Allah.
Sanksinya bersifat ukhrawi (akhirat).
Sedangkan pengemplang pajak akan berhadapan dengan sanksi hukum duniawi, seperti denda hingga kurungan penjara.
"Mengatakan pajak itu mirip zakat sama saja dengan menyederhanakan perintah Tuhan demi legitimasi aturan buatan manusia. Ini seperti mengambil syariat secara prasmanan, hanya mengambil bagian yang menguntungkan narasi pemerintah tanpa memahami esensi dan aturannya secara utuh."
Blunder Komunikasi Pejabat: Sebuah Pola yang Berulang?
Pernyataan Sri Mulyani ini menambah panjang daftar "blunder komunikasi" pejabat publik yang membuat warga Indonesia kesal.
Publik belum lupa dengan pernyataan kontroversial Menteri ATR/BPN Nusron Wahid terkait lahan tak produktif dengan sentilan, "Memang mbahmu, leluhurmu, dulu bisa membuat tanah?".
Begitu pula dengan ucapan Bupati Pati Sudewo yang menantang warganya untuk berdemo saat kebijakannya dikritik.
Pola ini menunjukkan adanya kesenjangan yang lebar antara narasi pemerintah dengan realitas yang dirasakan masyarakat.
Di tengah himpitan ekonomi, kenaikan harga, dan sulitnya mencari kerja, pernyataan yang terkesan menggampangkan atau tidak sensitif justru menjadi pemantik kemarahan publik.
Hal ini seolah menunjukkan bahwa para pejabat kurang memiliki empati dan pemahaman mendalam terhadap isu-isu yang sensitif di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan agama dan kondisi sosial.
Rekomendasi untuk Pejabat: Cerdas Berkata, Bijak Bertindak
Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran mahal bagi seluruh pejabat publik. Komunikasi yang buruk dapat meruntuhkan kepercayaan publik lebih cepat daripada kegagalan kebijakan itu sendiri.
Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian serius:
Pahami Konteks dan Audiens: Sebelum berbicara, terutama terkait isu sensitif seperti agama, pejabat harus memahami konteksnya secara mendalam.
Menggunakan analogi agama untuk melegitimasi kebijakan negara adalah langkah yang sangat riskan.
Gunakan Bahasa yang Tepat: Pilihlah diksi yang tidak menimbulkan multitafsir.
Alih-alih menyamakan, mungkin lebih bijak jika dikatakan, "Semangat gotong royong dalam pajak sejalan dengan semangat berbagi dalam zakat," tanpa mencampuradukkan kedua hukum tersebut.
Tingkatkan Empati: Pejabat harus menempatkan diri mereka di posisi rakyat.
Dengarkan aspirasi dan keresahan publik sebelum membuat pernyataan yang justru bisa melukai perasaan mereka.
Andalkan Juru Bicara Profesional: Jika seorang pejabat tidak memiliki kemampuan komunikasi publik yang mumpuni, sebaiknya serahkan tugas tersebut kepada juru bicara yang terlatih untuk menyampaikan pesan pemerintah secara jelas, akurat, dan empatik.
Pada akhirnya, kepercayaan publik adalah aset terbesar pemerintah.
Aset ini tidak dibangun dengan analogi yang dipaksakan, melainkan dengan kebijakan yang adil, kinerja yang transparan, dan komunikasi yang jujur serta penuh empati.