"Fakta bahwa terdapat 3.503 jemaah haji khusus yang berangkat tanpa melalui antrian normal atau "0 tahun" memperlihatkan adanya pelanggaran dalam sistem pengelolaan antrian yang seharusnya adil dan transparan," tulis laporan Pansus Haji.
Menurut Pansus Haji, pengisian kuota tambahan haji khusus cenderung dipengaruhi oleh kepentingan bisnis penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK), dalam hal ini perusahaan travel, bukan berdasarkan sistem antrean yang adil dan transparan.
Pansus Haji menyebut PIHK memiliki keleluasaan penuh untuk menentukan jemaah mana yang akan mendapatkan porsi tambahan, tanpa adanya kontrol yang jelas dari Kementerian Agama.
Artinya PIHK membagi kuota haji khusus tambahan berdasarkan siapa yang sanggup membayar dengan tarif yang sudah ditentukan.
Temuan pansus menyebutkan ada jemaah calon haji khusus yang diminta membayar USD 21.950 paling lama dalam 2 minggu jika ingin berangkat haji lebih cepat.
Proses ini mencerminkan kurangnya pengawasan negara dalam memastikan bahwa pelaksanaan kuota haji khusus memenuhi prinsip keadilan bagi semua calon jemaah.
"Hal ini bertentangan dengan Pasal 9 dan Pasal 64 UU No. 8 Tahun 2019 yang menegaskan bahwa kuota tambahan haji adalah kewenangan Menteri Agama, dan harus diatur dengan mekanisme yang jelas dan akuntabel," tulis pansus haji dalam laporannya.