Suara.com - Logo Hari Ulang Tahun ke-80 Jawa Tengah berhasil mencuri perhatian publik karena dinilai lebih bagus dibandingkan dengan logo HUT ke-80 Republik Indonesia.
Desain logo Jawa Tengah ini dibuat oleh Yusup Kristiyanto, seorang warga Desa Jarum, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, yang dikenal belajar desain secara otodidak.
Logo tersebut divisualisasikan dalam bentuk angka 80 yang diolah menyerupai burung Kepodang Emas yang sedang meloloh anaknya.
Angka 8 digambarkan sebagai induk burung, sedangkan angka 0 ditampilkan sebagai anak burung yang menerima makanan dari paruh induknya.
Pertemuan kedua paruh tersebut melambangkan proses memberi makan, atau dalam filosofi Jawa disebut "Ngopeni."
Filosofi "Ngopeni" berarti merawat, memelihara, dan memberi perhatian agar sesuatu dapat bertumbuh dengan baik.
Selain itu, logo ini juga menggambarkan filosofi "Nglakoni" yang terinspirasi dari kebiasaan burung Kepodang Emas yang selalu membersihkan dirinya.
"Nglakoni" diartikan sebagai menjalani kehidupan dengan membersihkan diri dari keburukan demi menjadi pribadi yang lebih baik.

Burung Kepodang Emas dipilih sebagai simbol karena sejak lama dianggap sebagai representasi kearifan lokal Jawa Tengah.
Baca Juga: Sudah Rilis! Ini 4 Link Download Logo HUT RI ke-80 Resmi dari Setneg.go.id
Bulunya yang berwarna kuning keemasan dipandang sebagai lambang kejayaan, kemakmuran, dan keberlanjutan.
Suaranya yang merdu melambangkan keindahan budi pekerti, keselarasan, serta kekompakan masyarakat Jawa Tengah.
Logo ini sekaligus mengangkat tema besar perayaan HUT Jawa Tengah tahun 2025, yaitu "Mapan dan Tumbuh."
Karya tersebut menjadi bukti bahwa kesederhanaan bisa menghadirkan makna yang dalam dan menyentuh masyarakat.
Menariknya, Yusup Kristiyanto hanya menggunakan sebuah laptop bekas seharga Rp800 ribu untuk membuat desain ini.
Laptop tersebut dia beli beberapa tahun lalu dan hingga kini masih digunakan untuk berkarya.
Perjalanan hidup Yusup juga penuh inspirasi karena dia pernah bekerja sebagai office boy di sebuah percetakan.
Dari lingkungan pekerjaan itulah dia mulai mengenal dunia desain grafis meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan khusus.
Yusup kemudian banyak belajar dari buku-buku dan latihan mandiri hingga akhirnya bisa menciptakan karya seperti logo HUT Jateng.
Cerita Yusup menjadi bukti bahwa kreativitas tidak harus lahir dari fasilitas mewah, melainkan dari semangat dan kemauan keras.
Keberhasilan logo ini memicu banyak komentar dari warganet yang membandingkannya dengan logo HUT ke-80 Republik Indonesia.
Banyak pengguna media sosial berpendapat bahwa logo Jawa Tengah lebih indah, sederhana, dan bermakna.
Logo HUT RI sendiri lahir dari sebuah sayembara nasional yang diikuti ratusan peserta dari berbagai daerah.
Karya yang terpilih adalah milik Bram Patria Yoshugi, seorang desainer grafis lulusan Institut Teknologi Bandung.
Desainnya dipilih langsung oleh Presiden Prabowo Subianto setelah melalui proses seleksi lima besar finalis.
Logo HUT RI ke-80 memiliki filosofi besar dengan tema "Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju."
Bentuk angka 80 dirancang menyatu menyerupai simbol tak terhingga atau infinity yang melambangkan kesinambungan perjuangan bangsa.
Warna merah pada logo melambangkan keberanian dan semangat juang rakyat Indonesia.
Warna putihnya melambangkan kesucian, keikhlasan, dan kemurnian cita-cita bangsa.
Tipografi modern dengan garis tegas menggambarkan visi progresif Indonesia yang siap menghadapi tantangan masa depan.
Logo ini juga memiliki tiga pilar utama, yaitu persatuan, kesejahteraan rakyat, dan semangat menuju Indonesia maju.
Namun perdebatan tetap muncul karena sebagian besar masyarakat merasa logo Jawa Tengah lebih menyentuh hati.
Logo Jawa Tengah dianggap lebih sederhana, lebih dekat dengan nilai budaya, dan mudah dipahami maknanya.
Sementara logo nasional meskipun penuh makna, dinilai terlalu kaku dan formal bagi sebagian orang.
Perbandingan kedua logo ini menunjukkan bahwa karya seni tidak bisa dilepaskan dari selera publik yang beragam.
Kesederhanaan visual dalam logo Jawa Tengah justru mampu menghadirkan kedekatan emosional dengan masyarakat.
Kontributor : Chusnul Chotimah