Mimpi Gadis 18 Tahun Jadi Korban TPPO: Terjebak di Kamboja, Keluarga Meratap Minta Rp130 Juta

Minggu, 17 Agustus 2025 | 14:05 WIB
Mimpi Gadis 18 Tahun Jadi Korban TPPO: Terjebak di Kamboja, Keluarga Meratap Minta Rp130 Juta
Foto terakhir Nazwa Aliyah yang diduga meninggal karena jadi korban perdagangan orang di Kamboja. (TikTok)

Suara.com - Saat bangsa Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke-80 dengan penuh suka cita, sebuah kabar pilu datang dari Deli Serdang, Sumatera Utara.

Nazwa Aliyah, seorang perempuan muda berusia 18 tahun, meninggal dunia, diduga kuat sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Ironisnya, Nazwa izin dari rumah dengan mimpi untuk bekerja di sebuah bank ternama di Medan, namun takdir membawanya ke akhir yang tragis di negeri orang.

Kini, sang ibu yang diketahui bernama Lanny meratap, memohon uluran tangan pemerintah untuk memulangkan jenazah putrinya.

Ia pun bercerita kronologi dan meminta pertolongan lewat media sosial miliknya.

Permintaan biaya akomodasi pemulangan yang mencapai Rp130 juta menjadi tembok tinggi yang memisahkan seorang ibu dari jasad anak gadisnya.

Kronologi Mimpi yang Berubah Menjadi Mimpi Buruk

Perjalanan tragis Nazwa Aliyah dimulai sekitar bulan Juni 2025.

Dengan bekal harapan dan semangat masa muda, ia pamit kepada keluarga untuk melamar pekerjaan di salah satu bang swasta yang ada di Medan, Sumatera Utara. Tawaran itu terdengar begitu meyakinkan, sebuah langkah awal untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Baca Juga: Banyak yang Geram, Unggahan Pencuri Ubi di Deli Serdang Dibakar ASN Dilihat 1,7 Juta Kali

Namun, janji manis itu ternyata adalah jebakan mematikan.

Alih-alih mendapatkan pekerjaan kantoran yang layak, Nazwa secara misterius dibawa ke Kamboja.

Keluarga yang kehilangan kontak mulai cemas.

Kecemasan itu kini telah berubah menjadi duka mendalam setelah mereka menerima kabar bahwa Nazwa telah meninggal dunia.

Kasus yang menimpa Nazwa mengarah pada satu kesimpulan pahit: ia adalah korban sindikat TPPO yang semakin merajalela.

Di usianya yang baru menginjak 18 tahun, Nazwa menjadi korban kekejaman kejahatan lintas negara yang memandang manusia tak lebih dari sekadar komoditas.

Jebakan Lowongan Kerja Palsu: Modus Klasik TPPO di Kamboja

Kisah Nazwa Aliyah bukanlah yang pertama.

Kamboja, bersama beberapa negara Asia Tenggara lainnya, telah menjadi "lubang hitam" bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang tergiur tawaran kerja bergaji tinggi melalui media sosial.

Modus Operandi yang Kerap Digunakan:

Iming-iming Gaji Fantastis: Sindikat menawarkan posisi seperti "admin," "customer service," atau "tenaga pemasaran" dengan gaji bulanan mencapai belasan juta rupiah.

Target Kalangan Muda dan Terdidik: Berbeda dari stereotip korban perdagangan orang, sindikat ini justru banyak menargetkan anak muda yang berpendidikan dan melek teknologi, memanfaatkan "lapar kerja" atau minimnya lapangan pekerjaan di dalam negeri.

Pemberangkatan Ilegal: Para korban umumnya diberangkatkan menggunakan visa turis, bukan visa kerja, seringkali melalui negara ketiga seperti Thailand untuk mengelabui petugas imigrasi.[1]

Eksploitasi di Balik Jeruji: Sesampainya di tujuan, biasanya paspor korban disita, dan mereka dipaksa bekerja sebagai operator penipuan online (online scam), judi online, atau aktivitas ilegal lainnya dengan jam kerja yang tidak manusiawi dan kerap disertai siksaan fisik.

Pemerintah Indonesia bahkan telah mengeluarkan larangan bagi warganya untuk bekerja di sektor-sektor tertentu di negara seperti Kamboja dan Myanmar karena tingginya risiko menjadi korban TPPO.

Namun, sindikat terus mencari celah, dan korban-korban baru seperti Nazwa terus berjatuhan.

Peran Pemerintah: Di Mana Negara Saat Warganya Membutuhkan?

Di tengah duka yang mendalam, keluarga Nazwa dihadapkan pada biaya pemulangan jenazah sebesar Rp 130 juta.

Angka ini tentu sangat memberatkan dan menjadi penghalang bagi mereka untuk memberikan peristirahatan terakhir yang layak bagi Nazwa.

Pertanyaannya, apa peran dan tanggung jawab pemerintah dalam kasus seperti ini?

Berdasarkan peraturan yang ada, negara memiliki kewajiban untuk melindungi warganya di luar negeri, baik saat hidup maupun setelah meninggal.

Prosedur pemulangan jenazah WNI dari luar negeri pada dasarnya difasilitasi oleh Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI).

Poin krusialnya adalah soal biaya.

Kemlu melalui KBRI dan KJRI akan menanggung biaya memulangkan jenazah apabila pihak keluarga yang ditinggalkan kurang mampu.

Syaratnya, keluarga perlu mengajukan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang nantinya dikirimkan ke Kemenlu.

Jika keluarga dianggap mampu, KBRI dan KJRI tetap wajib membantu pengurusan administrasi hingga tuntas.

Dengan demikian, beban Rp130 juta yang ditagihkan kepada keluarga Nazwa seharusnya bisa dan harus ditangani oleh negara.

Pemerintah tidak bisa lepas tangan, terutama karena Nazwa adalah korban kejahatan serius yang seharusnya menjadi perhatian utama negara.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI