Suara.com - Panggung politik di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, tengah memanas.
Di tengah upaya DPRD Pati menggulirkan hak angket yang berpotensi berujung pada pemakzulan Bupati Sudewo, sebuah manuver tak terduga datang dari Senayan.
Ketua Komisi II DPR RI, HM Rifqinizamy Karsayuda, secara terbuka 'pasang badan' untuk sang bupati, sebuah langkah yang memicu perdebatan sengit tentang otonomi daerah dan intervensi elite politik pusat.
Ini bukan sekadar berita politik biasa.
Ini adalah cermin bagaimana demokrasi di tingkat lokal bisa dengan mudah digoyahkan oleh kepentingan dari 'atas'.
Alasan Klasik: "Beri Kesempatan" vs. Realitas di Lapangan
Dalam pernyataannya, Rifqinizamy menyarankan agar Bupati Sudewo tidak langsung dilengserkan.
Alasannya terdengar normatif: Sudewo belum genap setahun menjabat dan layak diberi kesempatan untuk memperbaiki kinerjanya.
"Menurut pandangan saya kasus Pati ini tidak harus berakhir sampai dengan DPRD setempat mengeluarkan hak menyatakan pendapat pemakzulan terhadap Bupati," kata Rifqi dikutip Minggu (17/8/2025).
Baca Juga: Gugah Nurani Elite Politik, Megawati Sentil Bahaya Kolonialisme Gaya Baru dan Pengkhianat Rakyat
"Waktu satu tahun kurang terhadap jabatan Mas Sudewo sebagai bupati Pati mestinya masih diberi kesempatan untuk beliau memperbaiki hal-hal yang dianggap kurang baik," ujar dia.
Di permukaan, argumen ini tampak bijak.
Namun, jika kita melihatnya dari kacamata warga dan DPRD Pati yang merasakan langsung dampak kebijakan bupati, logika 'beri kesempatan' ini menjadi rapuh dan problematis.
Mekanisme hak angket bukanlah keputusan emosional semalam.
Ia adalah hak konstitusional DPRD sebagai representasi rakyat untuk meminta pertanggungjawaban eksekutif.
Ketika mekanisme ini berjalan, artinya ada akumulasi masalah serius yang dianggap tidak bisa lagi ditoleransi.