- Kardinal Matteo Zuppi menggelar doa selama tujuh jam non-stop membacakan ribuan nama anak-anak Gaza.
- Doa ini sengaja diadakan di Marzabotto, lokasi bekas pembantaian oleh Nazi.
- Aksi ini menegaskan mereka adalah individu bernama, bukan sekadar angka statistik.
Suara.com - Di tengah keheningan Taman Monte Sole Marzabotto, Italia, sebuah suara tak henti-hentinya menggema selama tujuh jam.
Suara itu milik Kardinal Matteo Zuppi, Ketua Konferensi Waligereja Italia, yang dengan khusyuk membacakan daftar nama ribuan anak-anak yang menjadi korban dalam konflik berkepanjangan di Gaza.
Aksi doa yang menyentuh ini digelar tepat pada 15 Agustus 2025, bertepatan dengan perayaan Hari Raya Santa Maria Diangkat ke Surga.
Dokumen setebal 469 halaman itu, berisi nama-nama mereka yang direnggut masa depannya, dibacakan satu per satu dari siang hingga malam hari.
Tercatat 12,211 anak-anak Palestina dan 16 anak-anak Israel, yang disebutkan dalam doa Kardinal Matteo.
Ini bukan sekadar upacara, melainkan sebuah pernyataan kuat untuk menolak dehumanisasi korban perang.
Gema Doa dari Lembah Kematian
Pemilihan Marzabotto sebagai lokasi vigil bukanlah tanpa alasan.
Tempat ini adalah saksi bisu salah satu kekejaman paling brutal dalam sejarah Italia.
Baca Juga: Gus Yahya Minta Maaf! PBNU Kecolongan Undang Akademisi Pro-Zionis Israel
Pada periode September hingga Oktober 1944, pasukan SS Nazi melakukan pembantaian massal terhadap ratusan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, sebagai tindakan balasan atas perlawanan partisan lokal.
Dengan menggelar doa di reruntuhan Gereja Casaglia yang dihancurkan Nazi, Kardinal Zuppi secara sengaja menarik benang merah antara tragedi masa lalu dan krisis kemanusiaan masa kini.
Lokasi yang sarat dengan memori penderitaan ini menjadi latar yang kuat untuk menyuarakan empati bagi para korban di Gaza, mengingatkan dunia bahwa kebrutalan perang tidak pernah berubah, hanya tempat dan waktunya yang berbeda.
"Kami menyebutkan nama mereka satu per satu," kata Kardinal Zuppi di awal vigil.
"Kami ingin mengingat nama mereka satu per satu, untuk menghormati setiap dari mereka dan menyelamatkan mereka dari anonimitas. Tidak ada yang hanya sekadar angka. Setiap orang memiliki nama, identitas."
Pernyataannya menjadi tamparan keras terhadap narasi konflik yang seringkali hanya berkutat pada statistik.
Menurut data terbaru Kementerian Kesehatan Gaza, jumlah korban tewas telah mencapai 31,045 jiwa.
Sementara 72,654 jiwa lainnya terluka sejak eskalasi konflik pada 7 Oktober 2023.
Data yang telah diverifikasi menunjukkan bahwa sekitar 70 persen dari mereka yang tewas adalah perempuan dan anak-anak, sebuah fakta tragis yang melandasi urgensi acara doa ini.
Mengenal Kardinal Zuppi: Pelayan Kaum Marjinal dan Utusan Perdamaian
Siapakah Kardinal Matteo Zuppi? Pria kelahiran Roma, 11 Oktober 1955 ini adalah Uskup Agung Bologna dan figur penting dalam Gereja Katolik modern.
Keterlibatannya dalam isu-isu sosial telah dimulai sejak masa mudanya saat bergabung dengan Komunitas Sant’Egidio, sebuah gerakan awam yang fokus melayani kaum miskin, imigran, hingga korban perang.
Rekam jejaknya sebagai juru damai terbukti saat ia menjadi salah satu mediator kunci dalam proses perdamaian di Mozambik.
Pengalamannya inilah yang membuat Paus Fransiskus menunjuknya sebagai utusan khusus untuk misi perdamaian, termasuk upaya dialog terkait konflik di Ukraina.
Vigil di Marzabotto adalah perpanjangan dari komitmen panjangnya terhadap kemanusiaan dan perdamaian.
Diangkat sebagai Uskup Agung Bologna pada 2015 dan kini menjabat Presiden Konferensi Waligereja Italia, pengaruh Zuppi semakin menguat.
Ia bahkan sempat dianggap sebagai kandidat terkuat (papabile) untuk menggantikan Paus Fransiskus yang wafat pada 21 April 2025, sebelum konklaf akhirnya memilih Kardinal Robert Francis Prevost sebagai Paus Leo XIV.
Suara Progresif yang Merangkul
Di luar perannya sebagai diplomat Vatikan, Zuppi juga dikenal sebagai sosok dengan pandangan progresif.
Pada Mei 2018, ia menulis esai untuk buku Building a Bridge karya Pastor James Martin, SJ, yang dikenal vokal dalam membangun dialog antara Gereja dan komunitas LGBT.
"Membantu umat Katolik LGBT merasa lebih diterima di dalam Gereja, yang pada akhirnya adalah rumah mereka juga." tulisnya.
Kalimat ini, meskipun bertujuan merangkul, memicu kontroversi dan melabelinya sebagai figur pro-LGBT di tengah doktrin Gereja Katolik yang menentang hubungan sesama jenis.
Sikapnya ini menunjukkan seorang pemimpin gereja yang berani menyentuh isu-isu sensitif demi menciptakan ruang yang lebih inklusif.