- Monumen Pancasila Sakti disebut memiliki peran penting sebagai pengingat sekaligus tempat edukasi.
- Sementara bagi generasi muda, peristiwa ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya memahami sejarah.
- Pesan yang ia sampaikan kepada generasi muda sederhana namun mendalam, jangan mudah terpengaruh orang lain sebelum benar-benar mengenalnya.
Suara.com - Pembahasan soal sejarah kelam peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau lebih dikenal sebagai G30S/PKI selalu berulang tiap tahunnya, terutama menjelang 30 September.
Hingga kini, kisah tentang penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal TNI Angkatan Darat serta kekacauan politik yang menyertainya masih menjadi topik penting dalam pembelajaran sejarah bangsa.
Bagi sebagian orang yang hidup di era tersebut, kenangan tentang peristiwa ini meninggalkan trauma mendalam.
Sementara bagi generasi muda, peristiwa ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya memahami sejarah, agar bangsa tidak terjebak dalam provokasi dan perpecahan yang sama.
Berikut kisah dan pandangan dari beberapa orang dengan latar belakang berbeda mengenai G30S/PKI dan Monumen Pancasila Sakti.
Syarif Ramli (68), salah satu saksi yang mengalami langsung momen itu saat kelas 1 SD, di Tebet Barat.
Beliau masih ingat betul bagaimana situasi pada malam kejadian.
“Setahu saya waktu gerakan itu, lampu-lampu pada mati semua, dimatiin. Waktu itu pemancar RRI satu-satunya juga nggak berkumandang, nggak ada,” kenangnya.
Beberapa hari setelah itu, kabar duka mulai terdengar. Terlebih ada sejumlah jenderal yang diculik.
Baca Juga: Mengapa PKI Tidak Dibubarkan Soekarno Bahkan Setelah G30S? Ini 5 Alasannya
“Saya dengar para jenderal diculik, lalu meninggal, dan akhirnya dikuburkan di Taman Makam Pahlawan,” ujarnya.
Bagi Syarif, sejarah ini penting dipelajari generasi sekarang agar mereka paham betapa ganasnya PKI.
Ia menilai Monumen Pancasila Sakti memiliki peran penting sebagai pengingat sekaligus tempat edukasi.
“Monumen ini menggambarkan tujuh jenderal, jadi warga tahu, ‘Oh, ini waktu pembunuhannya, situasinya seperti ini.’ Terlalu kejam,” tuturnya dengan nada serius.
Sementara itu, Sutrisno, yang saat itu masih duduk di bangku kelas 3 SD di Tanjungkarang, Kudus, mengingat jelas suasana mencekam pasca peristiwa tersebut.
“Waktu itu rumah-rumah diacak-acak. Orang-orang disuruh keluar dengan tangan diangkat sama Kopassus. Mereka cari dokumen-dokumen. Kalau ada nama yang dicurigai, orangnya langsung dibawa,” ungkap Sutrisno.