- Aiman Bahadi di Media Sustainability Forum 2025 menyatakan AI harus dilihat sebagai mitra strategis industri kreatif.
- Kolaborasi AI meningkatkan efisiensi kerja hingga 25 persen dan kualitas konten sebesar 40 persen.
- Manusia wajib menjadi konduktor yang mengendalikan AI, terutama untuk menyuntikkan emosi dan empati.
Suara.com - Kehadiran kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dalam industri kreatif dan media tidak seharusnya dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai mitra strategis yang mampu meningkatkan kualitas karya.
Hal tersebut ditegaskan oleh Digital Strategist Manager Volare, Aiman Bahadi, dalam gelaran Media Sustainability Forum 2025, pada Rabu, 3 Desember 2025.
Dalam sesi presentasinya, Aiman menekankan pentingnya perubahan pola pikir para pelaku industri kreatif dan jurnalis untuk menjadikan AI sebagai "partner kreatif".
Menurutnya, realitas saat ini menunjukkan bahwa kolaborasi dengan AI memberikan dampak nyata pada efisiensi dan kualitas.
"Yang mau saya sampaikan di sini sebenarnya bagaimana cara kita membawa AI ini sebagai partner kreatif kita. Karena kenapa? Realitas yang ada sekarang bisa kita lihat, mereka sudah bisa langsung memberikan quality improvement," ujar Aiman, Rabu (3/12/2025).
Aiman juga memaparkan data yang menunjukkan dampak positif penggunaan teknologi generatif.
Ia menyebutkan bahwa penggunaan AI dalam pembuatan konten foto maupun video terbukti meningkatkan kualitas hingga 40 persen dan mempercepat proses pengerjaan sebesar 25 persen.
Tren ini, menurut Aiman, semakin tak terbendung di tahun 2025.
"Bahkan di 2025 sekarang ini, 30 persen konten digital itu bisa dibilang adalah buatan. Hampir semua pekerjaan itu dibantu," tambahnya.
Baca Juga: Business Hack Terbaik 2025: Riset Pasar dan Strategi Cuma Modal Galaxy Z Fold7 dan Gemini AI
Di tengah dominasi teknologi tersebut, Aiman mengingatkan pentingnya peran manusia untuk tidak sekadar menjadi operator, melainkan memegang kendali penuh.
Ia menggunakan analogi orkestra untuk menggambarkan hubungan ideal antara manusia dan AI.
"Ketika kita menggunakan AI, kita mesti shifting jadi konduktornya, jadi dirigennya. AI itu biar yang main musiknya, kita yang mengatur," jelas Aiman.
Ia menekankan bahwa tantangan utamanya adalah bagaimana manusia bisa merangkul teknologi ini namun tetap memegang kendali artistik.
Lebih lanjut, Aiman menyoroti satu kelemahan mendasar AI yang justru menjadi kekuatan utama manusia, yakni emosi dan empati.
Hal ini dinilainya sangat krusial, terutama dalam dunia jurnalistik.
"Kenapa? Karena satu hal yang sampai sekarang masih belum bisa di-track sama AI itu adalah emosi dan empati. Di situlah peran kita sebagai manusia untuk mengurasi hasil kerja dari AI ini," tegasnya.
Menurut Aiman, dalam menyampaikan atau mengemas sebuah berita dan cerita, kemampuan menyentuh sisi emosional audiens adalah hal yang paling utama.
Oleh karena itu, kurasi manusia tetap menjadi elemen vital yang tidak bisa disubstitusi oleh mesin.
"Menurut aku, yang paling penting di jurnalistik adalah emosi dan empatinya. Dalam menyampaikan sesuatu itu sebenarnya yang paling penting, gimana caranya kita bisa menjadi konduktor," tutup Aiman.
Reporter: Safelia Putri