Sinyal Kuat PAN: Pilkada Lewat DPRD Opsi Serius, Sebut Demokrasi Langsung Banyak Mudaratnya

Selasa, 09 Desember 2025 | 15:45 WIB
Sinyal Kuat PAN: Pilkada Lewat DPRD Opsi Serius, Sebut Demokrasi Langsung Banyak Mudaratnya
Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Eddy Soeparno. [Suara.com/Bagaskara]
Baca 10 detik
  • PAN menyatakan kesiapan mengkaji usulan pengembalian Pilkada ke tangan DPRD yang dipicu oleh Ketua Umum Partai Golkar.
  • Evaluasi demokrasi langsung diperlukan karena dinilai menimbulkan banyak manfaat sekaligus mudarat signifikan, terutama biaya politik tinggi.
  • Perubahan sistem pemilihan memerlukan kajian matang serta kesepakatan politik luas antarpartai politik untuk mengubah undang-undang terkait.

Suara.com - Wacana untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke tangan DPRD kembali menguat. Kali ini, sinyal persetujuan datang dari Partai Amanat Nasional (PAN) yang secara terbuka menyatakan siap mengkaji usulan yang sebelumnya dilontarkan oleh Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia.

Langkah ini menandai kemungkinan adanya pergeseran besar dalam lanskap politik lokal, membuka kembali perdebatan fundamental mengenai sistem pemilihan yang paling ideal untuk Indonesia pasca-reformasi.

Selama dua dekade terakhir, rakyat telah terbiasa memilih gubernur, bupati, dan wali kota secara langsung.

Wakil Ketua Umum PAN, Eddy Soeparno, menegaskan bahwa partainya tidak memandang usulan tersebut sebagai hal yang tabu.

Menurutnya, sudah saatnya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan demokrasi langsung di tingkat daerah yang dinilai memiliki dua sisi mata uang: manfaat dan mudarat.

"Ya, wacana itu tentu membutuhkan kajian. Kami tidak menutup diri atas wacana tersebut karena memang kita lihat demokrasi langsung kita membawa banyak manfaat, tetapi juga membawa banyak mudarat juga," ujar Eddy saat ditemui di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/12/2025).

Lebih lanjut, Eddy menyoroti borok yang selama ini menggerogoti kualitas Pilkada langsung. Salah satu masalah paling kronis, menurutnya, adalah biaya politik yang meroket.

Para calon kepala daerah dipaksa untuk menyiapkan modal finansial yang sangat besar, tidak hanya untuk kampanye, tetapi juga untuk "mahar" politik dan menggerakkan mesin pemenangan hingga ke tingkat paling bawah.

Kondisi ini, kata dia, secara tidak langsung menyuburkan praktik politik uang atau money politics yang sulit diberantas dan merusak tatanan demokrasi dari akarnya.

Baca Juga: PAN 'Tolak Halus' Ide Koalisi Permanen: Kami Sudah Tiga Kali Setia dengan Prabowo

Alih-alih menjadi ajang adu gagasan dan program, Pilkada seringkali berubah menjadi arena transaksi suara.

"Apalagi kita lihat sekarang ongkos politik menjadi tinggi, money politics juga tidak surut, ya. Pendidikan politik kepada masyarakat itu perlu ditingkatkan," jelasnya.

Oleh karena itu, Eddy berpandangan bahwa aspek-aspek negatif inilah yang harus menjadi pertimbangan utama dalam diskusi publik dan politik untuk memutuskan masa depan sistem Pilkada.

Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar memilih, tetapi sistem mana yang mampu menghasilkan pemimpin berkualitas tanpa terjebak dalam pragmatisme transaksional.

Meski demikian, ia mengingatkan bahwa mengubah sistem pemilihan dari langsung menjadi tidak langsung bukanlah perkara mudah.

Jalan yang harus ditempuh masih sangat panjang dan politis, karena menyangkut perubahan undang-undang yang vital.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI