- BPOM menemukan peredaran pangan ilegal dan kedaluwarsa senilai total Rp40,8 miliar menjelang Nataru 2025/2026 melalui pengawasan offline dan online.
- Pangan tidak memenuhi ketentuan (TMK) terbesar adalah tanpa izin edar (TIE) yang banyak masuk melalui jalur perbatasan sulit diawasi.
- Konsumsi pangan ilegal atau kedaluwarsa berisiko menyebabkan masalah kesehatan serius, termasuk gagal ginjal dan kematian, sehingga perlu cek KLIK.
Suara.com - Kotak hampers yang tampak biasa—pita rapi, kemasan mengilap, aroma manis pangan yang menjanjikan kehangatan Natal—namun siapa sangka, di baliknya bisa tersembunyi pangan ilegal yang masuk lewat jalur tikus perbatasan, lolos dari pengawasan negara, dan membawa risiko keracunan hingga gagal ginjal bagi konsumen yang tak pernah tahu apa sebenarnya yang mereka konsumsi.
Fenomena ini bukan cerita fiksi, melainkan temuan nyata dari pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang kembali menemukan peredaran pangan ilegal, kedaluwarsa, dan berbahaya jelang Natal dan Tahun Baru (Nataru).
Ada temuan tentang produk pangan tidak memenuhi ketentuan (TMK), mulai dari makanan ilegal dan kedaluwarsa yang beredar menjelang Nataru. Total nilai ekonominya mencapai lebih dari Rp40 miliar.
Apa Saja Jenis Pangan Tidak Memenuhi Ketentuan yang Beredar?
Dalam Intensifikasi Pengawasan Pangan Jelang Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Inwas Nataru) selama periode 28 November 2025 hingga 31 Desember 2025, BPOM memeriksa 1.612 sarana peredaran pangan olahan di 38 provinsi.
Sarana yang diperiksa terdiri dari 698 ritel modern atau 43,3 persen, 663 ritel tradisional atau 41,1 persen, 243 gudang distributor atau 15,1 persen, 7 gudang importir atau 0,4 persen, serta 1 gudang marketplace atau e-commerce atau 0,1 persen
Hasil pemeriksaan menunjukkan sebanyak 1.049 sarana (65,1%) telah memenuhi ketentuan (MK), sementara 563 sarana (34,9%) tidak memenuhi ketentuan (TMK).
Sarana TMK tersebut terdiri dari 273 ritel tradisional (16,9%), 264 ritel modern (16,4%), 25 gudang distributor (1,6%), dan 1 gudang importir (0,06%).
Jumlah pangan TMK yang ditemukan sebanyak 126.136 pieces, di mana jenis temuan terbesar adalah pangan olahan tanpa izin edar (TIE) sebesar 73,5% (92.737 pieces), pangan kedaluwarsa sebesar 25,4% (32.080 pieces), dam pangan rusak sebesar 1,1% (1.319 pieces).
Baca Juga: Mudik Nataru 2025, Penumpang Kereta Padati Stasiun Pasar Senen
Nilai ekonomi temuan pangan TMK dari pengawasan offline diperkirakan mencapai Rp1,3 miliar, terdiri dari pangan TIE senilai Rp1 miliar, pangan kedaluwarsa Rp224 juta, dan pangan rusak Rp29 juta.
Selain pengawasan peredaran offline, BPOM melakukan pengawasan peredaran online melalui patroli siber pada 2.607 tautan penjualan pangan TMK di platform digital. Nilai ekonomi temuan dari patroli siber mencapai Rp40,8 miliar.
Adapun hasil temuannya adalah sebanyak 1.583 tautan (60,7%) menjual pangan TIE dan 1.024 tautan (39,3%) menjual pangan mengandung bahan berbahaya. Produk TIE tersebut mayoritas berasal dari Malaysia, Amerika Serikat, Italia, Turki, dan Uni Emirat Arab.

Kenapa Pangan Bermasalah Masih Banyak Beredar?
Salah satu sebab banyaknya peredaran pangan TIE adalah pengawasan yang kurang. Terutama pangan-pangan yang masuk dari luar ke dalam negeri melalui perbatasan.
Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan produk ilegal tersebut banyak ditemukan di jalur tikus perbatasan, seperti Tarakan dan Dumai sehingga pengawasannya sulit dilakukan.
Kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak jalur masuk ilegal di wilayah perbatasan menjadi tantangan dalam pengawasan.
Selain Tarakan dan Dumai, pangan TIE abnyak ditemukan di wilayah kerja unit pelaksana teknis di Jakarta, Pekanbaru, dan Tasikmalaya, khususnya di wilayah perbatasan dan toko oleh-oleh.
Temuan produk tersebut didominasi produk impor asal Malaysia, Korea, India, dan Tiongkok, seperti minuman sari kacang, pasta dan mi, minuman serbuk cokelat, krimer kental manis, serta olahan daging.
Bukan cuma lemahnya pengawasan di jalur perbatasan, permintaan produk yang tinggi spesifik dari Malaysia dan Korea ditambah ketidaktahuan pelaku usaha akan regulasi, serta maraknya perdagangan melalui e-commerce turut menjadi faktor yang mempermudah distribusi produk ilegal secara luas tanpa pemeriksaan fisik.
Sementara itu untuk pangan kedaluwarsa banyak ditemukan di wilayah Kupang, Sumba Timur, Ambon, Bau-Bau, dan Kepulauan Tanimbar. Jenis produk kedaluwarsa yang ditemukan, antara lain minuman serbuk berperisa, permen, bumbu siap pakai, serta pasta dan mi.
Sedangkan pangan rusak banyak ditemukan di Ambon, Mamuju, Sofifi, Balikpapan, dan Surabaya. Temuan pangan rusak terbanyak, yakni ikan dalam kaleng, susu kental manis, susu UHT, pasta, dan mi.
BPOM menjelaskan pangan rusak dan kedaluwarsa banyak terjadi di wilayah Timur karena rantai pasok panjang. Selain itu, sistem penyimpanan di gudang yang tidak benar membuat produk mudah rusak dan tertahan lama sehingga lewat batas waktu layak konsumsi.
Terpisah, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) Tulus Abadi mengatakan peredaran pangan ilegal masih cukup signifikan, bukan hanya jelang Natal dan tahun baru saja.
Menurutnya peredaran pangan ilegal yang masih terjadi menandakan pengawasan dari Dinas Kesehatan setempat yang belum efektif.
"Termasuk oleh Balai POM," kata Tulus kepada Suara.com, Senin (22/12/2025).
Padahal seharusnya dengan era digital seperti sekarang, Tulus mengatakan pengawasan post market harus ditingkatkan.
"Baik di pasar konvensional dan atau pasar virtual. Mengingat perdagangan di pasar online juga cukup masif," kata Tulus.

Apa Risiko Jika Dikonsumsi Konsumen?
Risiko kesehatan membayangi masyarakat, seiring beredarnya pangan ilegal dan kedaluwarsa di tengah-tengah kehiduapan mereka. Tentu persoalan ini bukan sebatas pelanggaran adminstratif, melainkan menjadi masalah kesehatan konsumen yang notabene adalah warga negara.
Pangan yang mengandung bahan kimia obat, seperti sildenafil sitrat, dapat menimbulkan dampak serius bagi kesehatan.
Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan zat-zat tersebut dapat mengakibatkan gagal ginjal, gagal jantung, bahkan kematian, jka tidak dikonsumsi secara tepat.
Masyarakat juga bisa terjangkit bakteri pemicu gangguan kesehatan dari produk pangan kedaluwarsa yang tidak sengaja dikonsumi. Penggunaan produk pangan rusak juga memungkinkan masuknya mikroorganisme berbahaya.
Bagaimana Mencegahnya?
Tentu meski pangan ilegal dan kedaluwarsa masih beredar di pasaran, masyarakat bisa mencegah agar tidak membeli produk tersebut. Salah satu caranya ialah dengan teliti sebelum membeli.
BPOM sendiri sudah memberikan imbauan terkait hal ini. Mereka menganjurkan masyarakat menerapkan prinsip KLIK (Kemasan, Label, Izin Edar, dan Kedaluwarsa). Masyarakat diminta lebih cermat dalam mengecek unsur-unsur tersebut di kemasan.
Tidak hanya untuk konsumen. Pelaku usaha juga harus menerapkan prinsip yang sama. Para pelaku usaha harus memastikan produk-produk pangan yang mereka jajakan tidak lewat dari tanggal layak konsumsi atau kemasan rusak.
Sedangkan untuk mencegah produk ilegal, pelaku usaha harus benar-benar memastikan adanya nomor izin edar yang menjamin keamanan produk.
"Jangan tergiur dengan menjual produk TMK (tidak memenuhi ketentuan hanya untuk mengejar keuntungan)!" seru Taruna.
Sementara itu, BPOM sendiri sudah menindaklanjuti temuan terhadap pangan ilegal dan kedaluwarsa. BPOM sudah memberi instruksi pengembalian produk kepada pemasok, pemusnahan produk TMK, serta pemberian sanksi administratif sampai proses hukum jika diperlukan.
Tetapi itu semua masih belum cukup. Tulus menilai BPOM perlu bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menutup jalur-jalur tikus di perbatasan yang menjadi pintu masuk produk pangan ilegal.
"Cuma menjadi runyam jika banyak tikus-tikus yang bermain," kata Tulus.
Sedangkan untuk mencegah di tingkat penjual, Tulus pesimis. Ia berujar "Untuk pelaku usaha, kan dia pelakunya."
Sama halnya dengan mencegah peredaran pangan ilegal sampai ke tangan konsumen. Menurutnya hal itu sulit dilakukan bila konsumen tetap mengutamakan harga murah. Tentu pilihan itu tidak terlepas dari daya beli di masyarakat.
"Dengan asumsi pangan ilegal lebih murah, konsumen harus memastikan bahwa pangan yang dikonsumsi legal. Jika ada label BPOM dan logo halal resmi, minimal ada keterangan dari Dinkes," pungkas Tulus.
