Suara.com - Betapa "berisinya" kisah saga otomotif "Ford v Ferrari" besutan sutradara James Mangold memang terasa sedari awal. Mulai persahabatan antara Carroll Shelby, mantan pebalap yang pindah profesi sebagai produsen kendaraan, dengan Ken Miles, driver asal Britania Raya. Lalu perseteruan dua "raja" manufaktur, yaitu Henry Ford II dengan Enzo Ferrari. Ditambah dua perusahaan, Ford Motor Company lawan Ferrari S.p.A. Serta kelahiran produk andalan Ford GT40 sendiri sebagai supercar seksi peretas dominasi Ferrari.
Lantas bagaimana cara penulis skenario, screenplay, sampai sutradara menjaga akurasi dari "Class of The Titans" ini?
![Sebuah replika Ford GT40 di markas Ford Motor Company, Dearborn, Amerika Serikat [Detroit Free Press].](https://media.suara.com/pictures/653x366/2019/11/11/66299-replika-ford-gt40-2.jpg)
Utamanya untuk Ford Motor Company sebagai sentral cerita. Di mana Henry Ford II selaku pemilik Ford Motor Company kesal dengan putusan Enzo Ferrari yang membatalkan rencana penjualan pabriknya kepada raksasa otomotif Amerika Serikat itu.
Dikutip dari Detroit Free Press, justru di sinilah letak keunikan itu. Bahwa sebagai subjek cerita, Ford Motor Company tidak dilibatkan saat skenario "Ford v Ferrari" mulai ditulis.
Well, selain menyediakan beberapa bahan arsip untuk mempelajari seluk-beluk perusahaan, Ford Motor Company memang tidak terlibat dalam pembuatan "Ford v Ferrari". Sumber utamanya adalah buku karya A.J. Baime lansiran 2009, bertajuk "Go Like Hell: Ford, Ferrari and Their Battle for Speed and Glory at Le Mans".
Para penulis skenario, yaitu Jez Butterworth, John-Henry Butterworth dan Jason Keller mengambil kebebasan untuk segi detail dan kisah-kisah sosok yang dituangkan ke layar lebar. Mirip proses adaptasi dari kisah nyata.
![Ford v Ferrari [20th Century Fox]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2019/11/07/72700-ford-v-ferrari.jpg)
Dan serunya lagi, pihak Ford Motor Company tak mempermasalahkan nilai akurasi dari hasil akhir "Ford v Ferrari". Juga sejauh ini belum ada tindak antisipasi atau penolakan terhadap film yang dibuat. Bahkan, perusahaan malahan menjadikan karya sinematografi itu sebagai alasan untuk menggelar event peringatan kemenangannya di 24 Hours of Le Mans pada 1966.
"Film ini adalah bagian dari hiburan, itu hal paling utama. Saya menggambarkannya sebagai sebuah reinterpretasi sejarah yang dramatis," papar Jay Ward, Product and Public Communication Ford Europe.
Tak kalah penting, semangat yang dibawa dari pertarungan "Class of The Titans" antarbenua: Eropa dan Amerika ini, adalah lahirnya Ford GT40. Perjalanannya juga seru, karena tak langsung sukses, melainkan harus lewat cara sulit untuk bisa mematahkan dominasi Ferrari.
Baca Juga: Hari Pahlawan di Surabaya, Wali Kota Risma Naik Kendaraan Tempur