Hal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi penggunaan di Brasil yang menunjukkan penurunan emisi apabila menggantikan kendaraan konvensional dengan listrik, karena Brasil menggunakan pembangkit listrik yang rendah karbon. Sekitar 75% setrum di Brasil bersumber dari pembangkit listrik tenaga air, yang jauh lebih bersih dibandingkan pembangkit listrik fosil.
Studi tersebut menyimpulkan, agar penggunaan kendaraan listrik berdampak lebih rendah terhadap pemanasan global, sumber setrum yang digunakan untuk mengisi daya harus memiliki faktor emisi di bawah 700 gram karbon dioksida per kilowatt jam (gCo2/kWh).
Bagaimana dengan Indonesia?
Sampai saat ini, belum ada penelitian mengenai dampak penggunaan kendaraan listrik di Indonesia terhadap penambahan emisi.
Namun, jika kita menggunakan faktor emisi di bawah 700 gCo2/kWh sebagai acuan, dan membandingkannya dengan faktor emisi di Indonesia, maka hasilnya cukup mengkhawatirkan.
Berdasarkan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2019, faktor emisi jaringan listrik di wilayah Jawa-Madura-Bali mencapai 800 gCo2/kWh, dan Sumatera 770 gCo2/kWh.
Hal ini terjadi karena sekitar 90.9% listrik yang dihasilkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) bersumber dari bahan bakar fosil.
Lebih lanjut, sekitar 64.31% listrik yang dihasilkan PLN bersumber dari batu bara yang memiliki emisi dan pencemaran yang tinggi.
Celakanya, berbagai perencanaan ketenagalistrikan kita, mulai dari Kebijakan Energi Nasional dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 sampai Rencana Umum Pengadaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang disusun PLN masih mengandalkan batu bara sebagai sumber pembangkit listrik utama. Bahkan, RUPTL 2019-2028 mencantumkan 118 pembangkit listrik baru yang bertenaga batubara.
Baca Juga: Pemda Gunakan Mobil Listrik Sebagai Kendaraan Dinas, PLN Siapkan SPKLU di Kota Jayapura
Sementara, dalam skenario LTS-LCCR Indonesia, faktor emisi 700 gCo2/kWh baru dicapai pada awal dekade 2030-an–ini baru skenario terbaik jika emisi dapat dikurangi secara optimal. Sedangkan dalam skenario terburuk, faktor emisi itu baru berlaku pada awal dekade 2040-an.