Mobil Listrik Tak Cukup Jadi Solusi Perubahan Iklim di Indonesia

Liberty Jemadu Suara.Com
Rabu, 06 Oktober 2021 | 21:04 WIB
Mobil Listrik Tak Cukup Jadi Solusi Perubahan Iklim di Indonesia
Mobil listrik Hyundai Kona sedang mengisi baterai di Sirkuit Sentul Bogor [ANTARA/Fathur Rochman].

Berdasarkan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2019, faktor emisi jaringan listrik di wilayah Jawa-Madura-Bali mencapai 800 gCo2/kWh, dan Sumatera 770 gCo2/kWh.

Hal ini terjadi karena sekitar 90.9% listrik yang dihasilkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) bersumber dari bahan bakar fosil.

Lebih lanjut, sekitar 64.31% listrik yang dihasilkan PLN bersumber dari batu bara yang memiliki emisi dan pencemaran yang tinggi.

Celakanya, berbagai perencanaan ketenagalistrikan kita, mulai dari Kebijakan Energi Nasional dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 sampai Rencana Umum Pengadaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang disusun PLN masih mengandalkan batu bara sebagai sumber pembangkit listrik utama. Bahkan, RUPTL 2019-2028 mencantumkan 118 pembangkit listrik baru yang bertenaga batubara.

Sementara, dalam skenario LTS-LCCR Indonesia, faktor emisi 700 gCo2/kWh baru dicapai pada awal dekade 2030-an–ini baru skenario terbaik jika emisi dapat dikurangi secara optimal. Sedangkan dalam skenario terburuk, faktor emisi itu baru berlaku pada awal dekade 2040-an.

Maka, dalam skema mitigasi gas rumah kaca paling ambisius sekalipun, Indonesia baru bisa membuat penggunaan kendaraan listrik memiliki jejak karbon yang sama–sedikit lebih baik dibandingkan dengan kendaraan konvensional–pada sepuluh tahun lagi.

Kendaraan listrik Untuk Siapa?

Transisi menuju kendaraan listrik bukanlah sebuah kesalahan.

Proses ini dapat membuka peluang sumber-sumber energi terbarukan yang bersih seperti surya, angin, dan air untuk sumber energi sektor transportasi.

Baca Juga: Pemda Gunakan Mobil Listrik Sebagai Kendaraan Dinas, PLN Siapkan SPKLU di Kota Jayapura

Bandingkan jika Indonesia tetap mengandalkan bahan bakar minyak yang opsi energi terbarukannya jauh lebih terbatas dan dilematis. Sejauh ini, pilihan yang tersedia adalah bahan bakar kombinasi minyak bumi dan olahan minyak sawit, yang justru berpotensi menambah pelik persoalan lingkungan karena berisiko menimbulkan deforestasi dengan dalih ekspansi produksi minyak sawit.

Berbagai pelajaran dari negara lain menunjukkan kendaraan listrik memerlukan sumber listrik rendah karbon. Jika ambisi elektrifikasi memang benar-benar bertujuan mitigasi iklim, maka pemerintah perlu segera mengganti pembangkit-pembangkit listrik PLN yang kotor dengan energi terbarukan.

Apabila tidak, sangat masuk akal untuk menduga bahwa kebijakan tersebut hanya bertujuan untuk menyediakan permintaan listrik dari ratusan pembangkit listrik tenaga uap-batubara.

Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.

The Conversation

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI