Ia menganggap, kelemahan UUD 1945 terletak pada mekanisme pemberhentian presiden, yang mana tidak ada prinsip keseimbangan antara daulat hukum dan daulat rakyat.
Menurutnya, seharusnya MPR hanya mensahkan pemberhentian itu, karena sudah jelas kesalahannya. Segala hal telah dibuktikan secara materil melalui persidangan-persidangan yang dilakukan secara terbuka melalui peradilan yang mengutamakan prinsip 'fair trial' di MK selama 90 hari persidangan.
Dengan demikian, secara hipotetis, Indonesia sebagai sebuah negara hukum mendapat tempat yang proporsional dalam model impeachment/pemakzulan presiden, karena hukum menjadi panglima dalam proses penentuan kebersalahan presiden.
Pada kesempatan itu, ia pun menyampaikan kesimpulan dalam disertasinya, yakni pemakzulan presiden bersifat prosedural institusional melewati tiga lembaga negara, yaitu DPR, MK, dan MPR dengan masing-masing kewenangan berbeda.
Khusus mengenai putusan MK, tidak bersifat final dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap DPR dan MPR, tetapi hanya sebatas menjadi pertimbangan hukum bagi DPR dan MPR.
Putusan akhir mengenai pemberhentian presiden dan atau wakil presiden tetap berada di tangan MPR sebagai lembaga eksekutor, sedangkan MK hanya bertindak sebagai juri untuk menentukan apakah tuduhan DPR memiliki landasan konstitusional atau tidak.
Ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 Pasca Amandemen hanya bermakna bahwa putusan MK tidak dapat dilakukan upaya banding. Hal ini akan berbeda jika setelah kata final diikuti kata mengikat.
Ia mengusulkan untuk dilakukan amandemen kelima, demi menata kembali prosudur pemakzulan presiden agar MK dapat ditempatkan sebagai pemutus akhir dan sifat serta daya mengikat putusannya bersifat final secara konstitusional.
"Agar kelak jika bangsa ini dihadapkan pada kasus konkrit mengenai pemberhentian presiden, maka secara teoritik maupun praksis, kita telah siap dengan segala alat dan instrumen hukum yang memadai untuk menyelesaikan permasalahan pemakzulan itu, dengan jalan hukum serta konstitusi yang memadai tersedia, sekaligus untuk mengeliminir berbagai implikasi ketatanegaraan yang akan timbul, jika terdapat ketiadaan kaidah hukum dan konstitusi tentang proses dan mekanisme pemkazulan presiden di Indonesia," katanya.