Mietzner dan Muhtadi menilai wacana ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ekonomi-politik.
Untuk masa jabatan presiden kedua, Joko “Jokowi” Widodo mengadopsi wacana Islam Nusantara untuk menjelaskan konsep Islam moderat semasa kampanye.
Ma’ruf Amin - yang saat itu memiliki posisi tinggi di Pengurus Besar NU (PBNU) sebagai rois aam Syuriah - kemudian dipilih Jokowi sebagai wakil presiden.
Singkatnya, menurut Mietzner dan Muhtadi, wacana toleransi di tubuh NU tidak bisa dilepaskan dari upaya NU melawan pesaing politik dan mengamankan kepentingan politik, ketimbang gerakan organik.
Sejauh mana klaim mereka itu benar?
Analisis bermasalah
Mietzner dan Muhtadi barangkali benar ketika memaparkan perilaku elite politik NU.
Tetapi, menghubungkan perilaku sebagian elite dengan data intoleransi sebagai sebab-akibat tidak sepenuhnya tepat; karena itu, klaim mereka menjadi bermasalah.
Dari segi analisis, keduanya terjebak pada apa yang dalam ilmu sosial disebut sebagai bias seleksi. Keduanya memilah informasi yang hanya mendukung variabel penjelas yang mereka inginkan.
Baca Juga: Dibully Warganet, Gus Miftah: Kenapa Islam Nusantara Selalu Diserang?
Mietzner dan Muhtadi membagi warga NU menjadi dua: elite dan akar rumput. Tapi keduanya tidak melihat lapisan “tengah” NU, yaitu intelektual dan aktivis yang bekerja mengadvokasi toleransi di Indonesia.
Jika analisis kedua peneliti benar, para aktivis NU yang bergabung di Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM (Lakpesdam) - badan otonom di bawah PBNU, misalnya, tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan politik elite PBNU.
Faktanya, Lakpesdam turut membantu advokasi ketika penghayat kepercayaan menguji undang-undang kependudukan terkait kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Mahkamah Konstitusi. PBNU mengatakan bahwa penghayat kepercayaan bukan agama.
Contoh lain adalah advokasi sekelompok elite intelektual NU untuk kesetaraan gender di pesantren dan jemaah akar rumput NU.
Meski Gus Dur pernah mengatakan - sebagaimana dikutip Mietzner dan Muhtadi - bahwa Indonesia belum siap dengan pemimpin perempuan saat bersaing dengan Megawati Soekarnoputri, para aktivis kesetaraan gender NU tidak surut.
Sulit mengatakan bila dua advokasi itu dilakukan sebagai kepanjangan tangan elite politik NU untuk mengamankan kepentingan material.