Studi Terbaru Temukan NU Ormas Intoleran, Benar Demikian?

Liberty Jemadu Suara.Com
Jum'at, 03 Juli 2020 | 19:34 WIB
Studi Terbaru Temukan NU Ormas Intoleran, Benar Demikian?
Sebuah studi baru menunjukkan bahwa NU ormas intoleran. Foto: Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj menyampaikan pidato kebudayaan saat Harlah ke-91 Nahdlatul Ulama di Jakarta, Selasa (31/1) [Antara/M Agung Rajasa].

Analisis perilaku elite NU

Kedua peneliti ini menjelaskan temuan peningkatan intoleransi di NU berkaitan dengan perilaku elite NU sejak organisasi berdiri.

Sejak awal, elite NU terbuka terhadap pengaruh tradisi lokal, seperti menghormati leluhur, selain pengaruh Timur Tengah.

Keterbukaan NU ini, menurut Mietzner dan Muhtadi, terkait erat dengan kepentingan ekonomi politik.

Sejumlah kiai mendirikan NU pada 1926 sebagai respons terhadap gerakan Islam modernis Muhammadiyah yang berdiri 1912.

Muhammadiyah, yang mengikuti pandangan-pandangan Timur Tengah, gencar mengkampanyekan praktik keagamaan yang mencampuradukan dengan tradisi lokal sebagai praktik sesat.

Para kiai menilai kehadiran gerakan Islam modernis itu mengancam eksistensi dan legitimasi mereka di mata para pengikutnya.

Pada masa awal kemerdekaan, NU cenderung berkoalisi dengan kelompok nasionalis ketimbang partai Islam. Berkat koalisinya dengan partai nasionalis, NU mendapat jatah posisi menteri agama.

Mietzner dan Muhtadi menilai retorika serupa dilakukan ketika NU dipimpin Abdurrahman “Gus Dur” Wahid - pemimpin yang dianggap paling berjasa dalam melakukan transformasi di tubuh NU.

Baca Juga: Dibully Warganet, Gus Miftah: Kenapa Islam Nusantara Selalu Diserang?

Gus Dur memang mengubah pandangan ideologi politik NU dari negara Islam ke model negara yang menghormati ragam agama.

Namun, menurut kedua peneliti, hal itu bukan hanya komitmen terhadap pluralisme, tetapi juga buah kesepakatan Gus Dur dengan pemerintahan otoriter Soeharto.

Di satu sisi, Soeharto mewajibkan Pancasila sebagai dasar organisasi agar dapat mengontrol kekuatan Islam. Di sisi lainnya, NU menerima kewajiban itu agar NU tetap memiliki posisi di dalam pemerintahan Soeharto.

Saat Gus Dur kemudian naik menjadi presiden, walaupun melahirkan kebijakan progresif terhadap warga keturunan Cina, Gus Dur dianggap sebagai presiden yang cenderung otoriter dengan membekukan parlemen.

Setelah jatuh dari kekuasaan, menurut Mietzner dan Muhtadi, reputasi Gus Dur sebagai ikon pluralisme dan toleransi kembali pulih.

Setelah kepergian Gus Dur hingga saat ini, NU mengampanyekan “Islam Nusantara” sebagai payung bagi advokasi toleransi dan pluralisme.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI