Setelah pengujian dengan obat itu, ternyata dampak pada pasien tidak seperti yang diharapkan. Gagalnya obat yang sudah menyandang status EUA ini seharusnya menjadi pelajaran.
Misalnya, di Amerika Serikat, ada kritikan terkait ihwal longgarnya proses telaah di FDA dan adanya tekanan dari para politikus yang tidak memiliki keahlian bidang uji obat dalam memberikan status izin darurat. Karena itu, vaksin berstatus EUA harus ditelaah lagi secara teliti dengan melibatkan para ahli.
EUA yang dirilis negara lain seharusnya hanya dijadikan pertimbangan, bukan sebagai legitimasi mutlak untuk menyetujui dan mengikuti segala yang tertulis di dalamnya.
Jika pengambilan kebijakan vaksinasi besar-besaran di Indonesia hanya berdasarkan klaim sepihak dari Cina tersebut, tanpa ada klarifikasi dan transparansi data yang jelas, kebijakan pemerintah ini hanya akan mengulang kembali panjangnya catatan kesembronoan penanganan COVID di Indonesia.
Kebijakan tidak berbasis data yang kredibel
Salah satu informasi liar yang beredar di media saat ini terkait pemberian “vaksin setengah jadi” berasal dari media yang didukung oleh pemerintah Cina yang mencatut nama WHO.
Mereka mengklaim bahwa WHO sudah merestui pemberian vaksin dari Cina walau uji klinis fase III belum selesai karena kondisi darurat. Banyak peneliti mengecam ini karena mengabaikan keamanan pada individu yang akan diberikan vaksin.
Hal ini masih ditambah dengan tidak detailnnya laporan riset fase I/II dari vaksin Sinovac, misalnya, yang tidak menyebutkan sama sekali mengenai sel limfosit B dan T memori, yang sangat berperan bagi imunitas jangka panjang.
Pernyataan mengenai hal tersebut hanya datang sepihak dari media Cina. WHO pun tidak pernah memberikan pernyataan resmi terkait hal tersebut. Klaim yang mencatut nama WHO salah satunya berasal dari kutipan yang dipotong dan disebarkan oleh media dari Cina tersebut.
Baca Juga: Tetap Terapkan Protokol Kesehatan, Dokter: Belum Ada Vaksin yang Efektif
Jebakan rasa aman palsu