Narasi-narasi segelintir tokoh agama telah memberikan citra negatif terhadap pengetahuan tradisional yang sebenarnya telah dilestarikan turun-temurun. Inilah yang menyebabkan hampir punahnya tradisi lokal.
Tradisi pawang hujan sendiri sudah dilakukan secara turun temurun dan dikenal sejak lama oleh masyarakat Indonesia, dengan penamaan dan ritual yang bervariasi.
Masyarakat Pandeglang, misalnya, juga akrab dengan istilah “nyarang hujan”, berupa ritual yang dilakukan pawang hujan ketika menyelenggarakan acara pernikahan, khitanan, dan acara-acara lain.
Di masyarakat Betawi, pawang hujan dikenal dengan sebutan dukun pangkeng, dan selalu ada dalam setiap acara hajatan.
Pada masyarakat Karo di Sumatera Utara, dikenal tradisi meminta hujan dengan ritual Tari Gundala-Gundala. Tradisi serupa juga dapat ditemukan di Karangasem, Bali yang dikenal dengan nama Gebug Ende, yaitu tarian yang dilakukan dengan memukul rotan untuk mendatangkan hujan.
Tradisi-tradisi tersebut merupakan bagian dari hak tradisional dan identitas masyarakat asli (adat) yang seharusnya bisa diakui sebagai hak konstitusional.
Ke depannya, perlu ada tindakan lebih tegas terkait pengakuan dan perlindungan pengetahuan tradisional yang dalam penerapannya harus melibatkan konsultasi dengan kelompok masyarakat adat.
Hal ini untuk memastikan bahwa ketentuan dalam perlindungan pengetahuan tradisional tidak justru mengganggu hak-hak mereka yang telah ada secara turun temurun.
Tantangan melestarikan pengetahuan adat
Baca Juga: Setelah Pawang Hujan MotoGP, Kini Mbak Rara Ikut Jadi Tim Jalan Tol Japek II, Layani Doa Kawal Cuaca
Undang-Undang nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan mengatur bahwa pengetahuan tradisional menjadi salah satu objek pemajuan budaya. Tetapi, implementasi UU ini masih belum maksimal.