Suara.com - Dhalia Ndaru Herlusiatri Rahayu, peneliti dari UGM, mengulas tentang paylater yang sedang tren di Indonesia. Ia memetakan beberapa masalah pada cara pembayaran baru tersebut. Berikut ulasannya:
PayLater – sistem pembayaran jangka pendek yang memungkinkan konsumen untuk mendapatkan barang dengan membayarnya di masa mendatang – tengah diandrungi oleh kawula muda. Fitur yang ditawarkan PayLater memudahkan konsumen ketika berada dalam situasi mendesak.
Sekilas, pembayaran menggunakan PayLater mirip dengan metode cicilan. Perbedaannya – terutama dengan opsi kartu kredit – terletak pada fleksibilitas opsi PayLater, mulai dari pengajuan yang tidak menggunakan dokumen pendapatan, kredit limit yang terlalu subyektif, sampai tidak adanya joining fee atau biaya bergabung.
PayLater masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Mekanisme pembayaran ini sempat menjadi topik paling banyak diperbincangkan di Twitter, setelah seorang warganet mengunggah cuitan untuk tidak tergoda menggunakan PayLater. Cuitan ini ditanggapi beragam oleh warganet: Kubu pendukung beranggapan bahwa PayLater membantu mereka untuk mendapatkan kebutuhan di saat belum memiliki uang.
Sementara, kubu penolak beranggapan bahwa PayLater sama dengan berhutang sehingga lekat dengan risiko bunga tinggi hingga gagal bayar.
Belum lagi, PayLater dapat memicu kecenderungan gaya hidup boros dan/atau perilaku impulsif dari penggunanya.
Saya memetakan beberapa persoalan yang muncul akibat penggunaan PayLater dan bagaimana konsumen dapat menggunakan inovasi teknologi ini dengan bijaksana.
Menyelesaikan masalah dengan masalah
Baca Juga: Dibanding Kartu Kredit, Masyarakat Lebih Senang Belanja Online Menggunakan Paylater
Meski bisa mempermudah transaksi, inovasi tak selalu sekedar menyelesaikan masalah, tapi juga menimbulkan masalah baru.
Beberapa persoalan muncul terkait alternatif pembayaran ini.
Masalah pertama adalah penggunaan PayLater yang mengakomodasi pembelian impulsif atau konsumsi berlebihan, terutama pada Generasi Z. Generasi Z adalah generasi “digital natives”, atau mereka yang lahir dan besar di era digital.
Studi menunjukkan bahwa generasi tersebut memiliki kontrol kognitif yang rendah dan perilaku spontan yang dapat mengarah pada potensi konsumsi berlebih atau pembelian impulsif. Perkembangan teknologi finansial mengakomodasi karakteristik ini dengan menawarkan opsi bayar praktis dan membuatnya terkesan seperti keputusan yang mudah.
Masalah kedua adalah pembayaran cicilan yang berkepanjangan dengan bunga sangat tinggi.
Dalam sebuah kasus, utang awal konsumen sebesar Rp 450 ribuan berubah menjadi hampir Rp 18 juta dalam waktu satu tahun. Meski di awal disebutkan bahwa klaim keuntungan dari PayLater ini adalah (seringkali) tidak memiliki bunga cicilan, fakta di lapangan menunjukkan bagaimana utang seseorang dapat menggelembung karena bunga.