Suara.com - Pemerintah RI tengah membangun aplikasi berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) untuk ketahanan pangan serta sistem perlindungan sosial. Platform itu bakal diluncurkan pada Agustus 2025 mendatang.
Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengatakan kalau Pemerintah juga menyiapkan layanan pemeriksaan kesehatan gratis serta 9 juta talenta digital di tahun 2030.
Meutya menjelaskan kalau hal ini sejalan dengan tiga aspek yang menjadi perhatian Pemerintah, yakni pendidikan, ketahanan pangan, dan penyediaan layanan publik.

“Keamanan pangan menjadi perhatian Presiden Prabowo, terutama di tengah situasi geopolitik saat ini. Dan juga pendidikan merupakan keyakinan mendasar yang dipegang teguh Indonesia, karena dengan AI, kita percaya bahwa AI tidak hanya itu, mereka yang merancang dan mengatur AI harus lebih pintar dari AI itu sendiri,” papar Meutya, dikutip dari siaran pers Komdigi, Senin (28/4/2025).
Selain itu, Meutya memamerkan kalau berbagai program AI telah dikembangkan untuk mendukung layanan publik, mulai dari sistem perlindungan sosial yang akan diluncurkan Agustus 2025 hingga layanan pemeriksaan kesehatan gratis dan distribusi makanan bergizi untuk pelajar.
Sementara di bidang infrastruktur digital, Menkomdigi mengatakan bahwa ada tantangan besar dalam menghubungkan 17.000 pulau Indonesia secara merata.
Pemerintah kini sedang menyiapkan pelelangan spektrum 2,6 dan 3,5 gigahertz (GHz) serta memperluas jaringan serat optik dan kabel bawah laut.
Langkah lain yang sedang ditempuh termasuk konsolidasi industri telekomunikasi dan pengembangan pusat data nasional berlatensi rendah untuk mendukung integrasi AI yang optimal.
“Ini sebuah kemajuan, tetapi tetap mengingatkan kita tentang skala tantangan untuk membangun konektivitas yang cepat dan andal di 17.000 pulau di Indonesia,” ucapnya.
Baca Juga: Literasi Teknologi untuk Guru: Kunci Pendidikan Berkualitas

Isu diaspora digital turut menjadi perhatian Komdigi. Meutya menyampaikan bahwa sekitar 8 juta warga negara Indonesia kini tinggal di luar negeri, termasuk 20.000 di antaranya yang bekerja di Silicon Valley, Amerika Serikat.