Revolusi ala Bos ChatGPT: Lupakan Batas Usia Produktif, yang Malas Belajar Bisa Tersingkir!

Sabtu, 16 Agustus 2025 | 15:49 WIB
Revolusi ala Bos ChatGPT: Lupakan Batas Usia Produktif, yang Malas Belajar Bisa Tersingkir!
Samuel Altman, Bos ChatGPT. (imigrasi.go.id)

Suara.com - Di tengah hiruk pikuk kemajuan kecerdasan buatan (AI), sebuah pernyataan dari 'bapak' ChatGPT, Sam Altman, mengguncang pakem dunia kerja.

Bukan soal teknologi, melainkan tentang usia.

Ia menyoroti bagaimana seorang pekerja berusia 62 tahun semestinya memandang masa depan, sebuah pandangan yang secara tidak langsung menantang konsep "usia produktif" yang selama ini menjadi acuan pemerintah, termasuk di Indonesia.

Pernyataan kontroversial ini dilontarkan Altman dalam sebuah podcast saat membahas dampak AI terhadap angkatan kerja.

Alih-alih mengkhawatirkan lulusan baru, Altman justru lebih cemas pada nasib pekerja senior.

"I'm more worried about what it means, not for the 22-year-old, but for the 62-year-old that doesn't want to go retrain or reskill," ujar Altman, CEO OpenAI.

Pandangannya jelas: tantangan terbesar bukanlah pada generasi muda yang adaptif, melainkan pada angkatan kerja senior yang mungkin enggan atau kesulitan untuk mempelajari keahlian baru di tengah gempuran teknologi.

Pernyataan ini seperti tamparan bagi cara pandang konvensional bahwa usia di atas 60 tahun adalah masa persiapan pensiun dan bukan lagi waktu untuk mengambil risiko atau memulai hal baru.

Sontak, pesan Altman ini menjadi relevan ketika dibenturkan dengan kerangka kebijakan ketenagakerjaan dan sosial di Indonesia. Pemerintah, melalui Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Kesehatan, mendefinisikan usia produktif pada rentang 15 hingga 64 tahun.

Baca Juga: 5 Kota Idaman untuk Menikmati Masa Pensiun: Tenang, Nyaman dan Hemat Biaya Hidup

Kelompok usia inilah yang dianggap sebagai tulang punggung ekonomi dan penanggung jawab bagi penduduk usia non-produktif.

Konsep ini menjadi dasar bagi banyak kebijakan, mulai dari program jaminan sosial hingga target bonus demografi.

Namun, Altman seolah mengatakan bahwa di era AI, batasan usia tersebut bisa menjadi usang. Kemampuan untuk terus belajar dan beradaptasi menjadi jauh lebih penting daripada usia kronologis.

Di sisi lain, kebijakan pemerintah mengenai usia pensiun juga tampak belum sepenuhnya sinkron dengan disrupsi ini. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2015 mengatur bahwa usia pensiun di Indonesia bertambah secara bertahap.

Pada tahun 2025, usia pensiun ditetapkan menjadi 59 tahun, dan akan terus naik hingga mencapai 65 tahun pada 2043.

Meskipun regulasi ini bertujuan menyesuaikan dengan angka harapan hidup, semangatnya masih dalam kerangka kerja tradisional: bekerja hingga batas usia tertentu, lalu berhenti.

Filosofi Altman justru sebaliknya, yakni mendorong "pembelajaran seumur hidup" (lifelong learning) dan keberanian mengambil risiko tanpa memandang usia.

Ia percaya bahwa setiap orang harus mencari irisan antara tiga hal: keahlian, minat, dan nilai yang bisa diberikan kepada dunia.

Pertanyaannya, apakah perangkat kebijakan pemerintah sudah siap memfasilitasi "pekerja senior" yang ingin memulai karier kedua atau ketiga?

Program seperti Kartu Prakerja, meski bertujuan untuk reskilling dan upskilling, seringkali identik dengan angkatan kerja usia muda. Diperlukan sebuah terobosan kebijakan yang lebih inklusif dan tidak memandang usia.

Bank Indonesia sendiri telah menyadari pentingnya peningkatan literasi keuangan digital untuk semua kalangan, termasuk UMKM dan masyarakat di daerah tertinggal, sebagai kunci menghadapi transformasi ekonomi.

Namun, inisiatif ini perlu diperluas menjadi literasi teknologi dan adaptasi keahlian kerja secara masif.

Pesan Sam Altman bukan sekadar nasihat karier, melainkan sebuah sinyal peringatan bagi para pembuat kebijakan.

Batasan kaku "usia produktif" dan "usia pensiun" berpotensi menjadi penghalang di masa depan.

Jika pemerintah tidak segera merumuskan ulang strategi pengembangan sumber daya manusia yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap teknologi, Indonesia berisiko kehilangan potensi besar dari angkatan kerja senior yang, menurut Altman, seharusnya tak pernah berhenti berkarya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI