Suara.com - 2025 Global Air Pollution Report menunjukkan polusi udara masih menjadi salah satu ancaman kesehatan terbesar di dunia, bahkan di kota-kota yang sekilas terlihat bersih dan tertata.
Laporan ini menegaskan bahwa dampak polusi tidak hanya terasa di wilayah industri berat, tetapi juga menjangkau hampir seluruh populasi dunia.
Berdasarkan laporan yang mengutip dari Earth.com (15/12/2025), paparan udara tercemar berkontribusi terhadap sekitar 7,9 juta kematian setiap tahun secara global.
Angka ini setara dengan satu dari delapan kematian di dunia. Data tersebut dihimpun melalui State of Global Air 2025, sebuah kajian komprehensif yang memetakan hubungan antara kualitas udara dan berbagai penyakit di hampir semua kawasan dunia.
Penelitian ini dipimpin oleh Michael Brauer, ilmuwan kesehatan dari Institute for Health Metrics and Evaluation serta University of British Columbia (UBC).
Fokus risetnya adalah melihat bagaimana paparan polusi udara sehari-hari, yang kerap luput disadari, dapat membentuk pola penyakit kronis hingga kematian dini.
Laporan ini menggunakan pendekatan Global Burden of Disease, sebuah studi global yang mengaitkan faktor risiko lingkungan dengan beban penyakit masyarakat.
Salah satu temuan utama laporan tersebut adalah besarnya jumlah "tahun hidup sehat yang hilang" akibat polusi udara. Sepanjang satu tahun, polusi udara menyebabkan hilangnya sekitar 232 juta tahun hidup sehat secara global.
Istilah ini merujuk pada gabungan antara kematian dini dan tahun-tahun yang dijalani seseorang dengan kondisi sakit atau disabilitas.
Baca Juga: Stop Iritasi! Brand Skincare Korea Berbasis Sains Ini Teruji Kuat Melawan Polusi dan Kelembapan
Bagi pemerintah daerah atau dinas kesehatan kota, angka ini mencerminkan beban nyata berupa peningkatan kunjungan rumah sakit, konsumsi obat-obatan, hari sekolah yang terlewat, hingga produktivitas kerja yang menurun.
Sebagian besar kematian akibat polusi udara berkaitan dengan penyakit tidak menular. Sekitar 86 persen kasus kematian terkait polusi berasal dari penyakit seperti jantung, stroke, dan gangguan pernapasan kronis.
Para peneliti menyoroti peran partikel halus PM2.5, yakni partikel udara berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer yang mampu menembus paru-paru hingga masuk ke aliran darah.

PM2.5 sendiri diperkirakan menyumbang sekitar 4,9 juta kematian dalam satu tahun. Paparan jangka panjang terhadap partikel ini meningkatkan risiko penyakit jantung iskemik, stroke, hingga gangguan pembuluh darah.
Dalam jangka panjang, iritasi yang terus-menerus pada pembuluh darah dapat memicu serangan jantung mendadak dan komplikasi fatal lainnya.
Mengutip Earth.com (15/12/2025), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan ambang batas aman paparan PM2.5 jangka panjang sebesar 5 mikrogram per meter kubik.
Namun, laporan ini memperkirakan sekitar 99 persen populasi dunia menghirup udara dengan kadar PM2.5 yang melampaui batas tersebut.
Bahkan, sekitar sepertiga penduduk dunia tinggal di wilayah dengan tingkat PM2.5 yang melebihi 35 mikrogram per meter kubik, jauh di atas target sementara yang ditetapkan para ahli.
Dampak polusi udara tidak berhenti pada paru-paru dan jantung. Laporan ini juga mengaitkan paparan polusi dengan gangguan fungsi otak.
Diperkirakan terdapat sekitar 626 ribu kematian akibat demensia yang berkaitan dengan polusi udara, serta hilangnya 11,6 juta tahun fungsi otak sehat pada kelompok usia lanjut.
Partikel polusi yang masuk ke aliran darah dapat mencapai otak dan organ vital lainnya, memperparah risiko penyakit degeneratif.
Ketimpangan global turut menjadi sorotan. Sekitar 90 persen kematian akibat polusi udara terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Kondisi ini dipengaruhi oleh tingginya tingkat polusi serta terbatasnya akses layanan kesehatan, terutama bagi anak-anak dan lansia. Ironisnya, laporan juga mencatat sekitar 11 persen populasi dunia tinggal di negara yang belum memiliki standar kualitas udara nasional sama sekali.
Di negara maju, situasinya tidak selalu lebih baik. Meski banyak kota berhasil menekan kabut asap dan emisi industri, rata-rata tingkat polusi tahunan mereka masih berada di atas pedoman kesehatan WHO.
Artinya, sebuah kota bisa saja memenuhi batas hukum nasional, tetapi tetap memiliki tingkat polusi dua kali lipat lebih tinggi dari standar kesehatan global.
Laporan ini juga menegaskan bahwa perubahan kebijakan dapat membawa hasil nyata. Sejumlah kota yang beralih ke bahan bakar lebih bersih, mengurangi penggunaan batu bara, serta memperbaiki sistem transportasi publik terbukti mengalami penurunan polusi signifikan.
Instrumen analisis kesehatan masyarakat kini dapat digunakan untuk menilai efektivitas kebijakan seperti zona emisi rendah, jaringan bus ramah lingkungan, hingga program memasak bersih.
Bagi masyarakat umum, langkah awal yang disarankan adalah lebih sadar terhadap kualitas udara di sekitarnya. Memeriksa indeks kualitas udara harian dapat membantu menentukan aktivitas luar ruang.
Saat tingkat polusi meningkat, pilihan sederhana seperti memilih rute yang lebih sepi kendaraan atau menggunakan masker yang pas dapat mengurangi paparan.
Kontributor : Gradciano Madomi Jawa