Budi menerangkan, pandemi berdampak terhadap bidang usaha jalan tol, baik yang masih tahap konstruksi maupun yang sudah tahap operasional. Pada tahap konstruksi, dampaknya adalah perlambatan pekerjaan, karena tertundanya proses pembebasan tanah dan penundaan pekerjaan sementara, jika ada pekerja yang terindikasi terpapar virus Corona.
“Efek lainnya adalah keterbatasan jumlah pekerja dan terlambatnya pengantaran material konstruksi, biaya tambahan untuk fasilitas kesehatan di lapangan dan juga penundaan proses financial close,” sebutnya.
Sedangkan dampak untuk yang fase operasional adalah adanya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Maret-Juni, sehingga jumlah lalu lintas harian kendraan pada ruas-ruas jalan tol di Jakarta, Jawa Barat dan Banten mengalami penurunan sekitar 42 persen-60 persen.
Menyadari situasi tersebut, pemerintah melakukan mitigasi Covid-19 di sektor jalan tol dengan memberikan stimulus kepada badan usaha jalan tol yang terdampak dan melaksanakan Program Padat Karya Tunai untuk mengurangi angka pengangguran pada masa pandemi seperti ini.
Sebagai upaya menjaga iklim investasi dan keberlanjutan sektor usaha jalan tol, pemerintah akan memberikan stimulus kepada BUJT terdampak melalui beberapa skema yang sedang dibahas, yaitu antara lain memperpanjang masa konsesi, penyesuaian tariff tol, penyesuaian tarif tol awal, perpanjangan masa konstruksi, penundaan kewajiban seperti pelebaran jalan dan pembangunan rest area.
Program Padat Karya Tunai di jalan tol bertujuan untuk mengurangi pengangguran dan menjaga daya beli masyarakat setempat, dengan melibatkan mereka dalam proyek pemeliharaan jalan dan jembatan yang relatif tidak memerlukan ketrampilan khusus dan teknologi tingkat tinggi. Pada tugas pemeliharaan rutin jalan tol, Program Padat Karya memperkerjakan 34.063 orang, dengan anggaran Rp 228,1 miliar, sedangkan untuk pekerjaan non rutin menyerap 8.472 pekerja, dengan alokasi dana Rp 29,8 miliar.