Pengamat: Pemerintah Perlu Mengubah Kebijakan Kelistrikan untuk Mendorong Pembangkit EBT

Iwan Supriyatna Suara.Com
Selasa, 24 Mei 2022 | 09:02 WIB
Pengamat: Pemerintah Perlu Mengubah Kebijakan Kelistrikan untuk Mendorong Pembangkit EBT
Ilustrasi petugas memeriksa instalasi kelistrikan. (Antara/HO-PLN)

Salah satu langkah yang sudah tepat, menurut Komaidi, adalah kebijakan pengeboran eksplorasi oleh pemerintah (government drilling) karena akan mengurangi risiko pengembang yang sangat tinggi di masa-masa awal pembangunan pembangkit panas bumi. Pengembang mesti mengeluarkan biaya operasional sampai 7-10 tahun, sementara pendapatan baru muncul paling cepat pada tahun ke-8.

“Pengembang harus punya pendanaan sendiri yang kuat karena tak mudah mencari financing dari perbankan.” ucapnya.

Dengan government drilling, risiko pengembang di awal masa pembangunan diambilalih pemerintah. Pengeboran eksplorasi yang sudah dilaksanakan pemerintah di Nage, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan di Cisolok Cisukarame, Jawa Barat.

Sebagai gambaran, harga PLTP Dieng yang dioperasikan PT Geo Dipa Energi (Persero) bisa mencapai US$7-8 sen per kWh. Pengeboran wilayah kerja Dieng dilakukan Pertamina, Geo Dipa hanya membangun pembangkit dan mengoperasikannya. Government drilling mereplikasi model ini.

Namun, kata Komaidi, ada kebijakan lain yang perlu dilakukan pemerintah menyangkut pasar.

“Pemerintah harus mengubah pasar yang bersifat monopsoni menjadi pasar terbuka, sehingga pengembang bisa menjual listrik kepada siapa saja. Konsumen juga bisa membeli listrik kepada pengembang mana saja. Untuk itu, jaringan transmisi dan distribusi juga harus diubah menjadi open access seperti pada gas dan sistem kelistrikan di banyak negara. Pengembang tinggal membayar sewa kepada pemilik jaringan transmisi dan distribusi,” kata Komaidi.

Dengan model seperti itu, menurut Komaidi, harga yang terbentuk bisa lebih kompetitif. Dia mencontohkan Unilever. Sejak 1 Januari 2020, Unilever sudah membangun fasilitas pembangkit listrik tenaga surya di seluruh pabrik, kantor, fasilitas riset dan pengembangan, pusat data, gudang, dan pusat distribusi di 23 negara.

“Hal ini sulit dilakukan di Indonesia karena sistem yang ada mengharuskan Unilever menjual listrik ke PLN dan kemudian membelinya kembali dari PLN,” kata Komaidi.

Komaidi melihat Presidensi Indonesia dalam G20 pada 2022 bisa mendorong Pemerintah Indonesia mengubah sejumlah kebijakan agar target-target energi bersih bisa dicapai.

Baca Juga: Sudah 10 Tahun Warga di Kabupaten Maros Tinggalkan Gas LPG, Beralih ke Tai Sapi

“Selama kita punya kebijakan energi bersih yang acceptable di pasar dan konsisten dilaksanakan, kita tidak perlu khawatir soal pendanaan. Trend keuangan dan investasi sudah semakin mengarah pada ekonomi hijau.” tuturnya.

Transisi Energi Berkelanjutan memang menjadi salah satu agenda utama dalam Presidensi Indonesia dalam G20 pada 2022.

Agenda Presidensi G20 tersebut sejalan dengan komitmen PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) untuk mengembangkan panas bumi dan memastikan implementasi prinsip Environment, Social, and Governance (ESG) menjadi bagian terintegrasi dari bisnis panas bumi PGE.

Penerapan aspek-aspek ESG ini merupakan upaya dalam memberikan nilai tambah serta dukungan PGE pada program pemerintah terkait pemanfaatan energi baru terbarukan yang ramah lingkungan, khususnya panas bumi.

Komitmen PGE dalam pengembangan energi panas bumi dapat berkontribusi dalam mencapai target pembangunan berkelanjutan Goals ke-7 (energi bersih dan terjangkau), Goals ke-8 (pekerjaan yang layak dan pengembangan ekonomi), Goals ke-12 (konstruksi dan produksi yang bertanggungjawab), serta Goals ke-13 (penanganan perubahan iklim), pada SDGs (Sustainable Development Goals).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?