Suara.com - Langkah cepat pemerintah menjawab keresahan masyarakat akibat aktivitas perdagangan melalui aplikasi TikTok patut diapresiasi. Pernyataan ini disampaikan oleh Johanes Herlijanto, ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) dalam diskusi berjudul "Ada Apa Dengan TikTok? Ekspansi E-Commerce Tiongkok dan Respons Indonesia".
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM Republik Indonesia, Tb. Fiki C. Satari, S.E., M.M., dan Dr. Diana Anggraeni, dosen program studi Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila, Jakarta.
Dalam diskusi di atas, Tb. Fiki C. Satari, Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM Republik Indonesia, menyatakan bahwa meski nilai ekonomi digital Indonesia pada tahun 2027 diproyeksikan tumbuh mencapai Rp. 3,216 Triliun, yang merupakan 2,5 kali lebih besar dibandingkan tahun 2027, masih terdapat berbagai tantangan yang harus diatasi oleh Indonesia.
Tantangan itu antara lain adalah, pertama, 90 persen produk yang dijual melalui perdagangan elektronik (e-commerce) adalah barang impor. Kedua adalah kecenderungan reseller produk impor ilegal.
Ketiga adalah adanya predatory pricing yang disebabkan lapangan bermain tak setara karena produk ilegal tidak bayar pajak, tidak penuhi persyaratan izin dan sertifikasi dan sebab-sebab lainnya. Tantangan keempat adalah adanya praktik monopoli data oleh platform asing.
Menurutnya, tantangan-tantangan di atas menyebabkan matinya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang bergerak pada bidang produksi dan yang berdagang di pasar luar jaringan (luring), anjloknya serapan tenaga kerja, dan kekalahan platform perdagangan daring lokal dalam bersaing.
Ia juga menerangkan bahwa kondisi e-commerce di Indonesia saat ini adalah adanya penguasaan hulu dan hilir oleh platform asal China yang semakin menguasai dan mendominasi pasar, yang mengakibatkan makin tergerusnya platform lokal.
Selain melalui TikTok, Satari mengatakan bahwa produk produk asal China itu masuk melalui berbagai platform asal China lain, seperti Temu.
“Model bisnis platform tersebut adalah menekan harga semurah mungkin dengan strategi mengambil produk dari pabrik di China langsung dan menjual kembali dengan tingkat kwantitas tinggi lewat metode pembelian berkelompok (group-buying),” ujarnya ditulis Jumat (17/11/2023).
Baca Juga: Gelar Seminar Nasional Penjaminan Kredit, ASIPPINDO Siap Berkontribusi Optimal bagi Perekonomian
Menurutnya, model bisnis seperti ini berpotensi membanjiri Indonesia dengan produk murah dari China dan sebagai akibatnya mendisrupsi rantai distribusi pedagang lokal.
Sementara itu, dalam pernyataannya, Johanes menyatakan bahwa berdasarkan penelusuran di media, keresahan masyarakat terhadap praktik perdagangan melalui aplikasi TikTok pada umumnya terkait dengan beberapa hal.
Pertama adalah keresahan yang berkaitan dengan kekhawatiran terhadap maraknya produk-produk import yang membanjiri pasar Indonesia, melalui aplikasi jual beli platform digital, termasuk melalui aplikasi TikTok shop.
Keresahan kedua terkait erat dengan kecurigaan adanya praktik predatory pricing, yaitu penerapan diskon yang tak masuk akal bagi barang-barang yang dicurigai merupakan produk impor. Hal berikutnya yang menjadi sumber keresahan dalam masyarakat adalah kekhawatiran TikTok meluncurkan Project S di Indonesia.
Sebagai informasi, istilah Project S ini mengacu pada upaya TikTok untuk mengumpulkan data mengenai jenis produk yang paling dicari di sebuah masyarakat, misalnya di Indonesia.
Berdasarkan data tersebut, TikTok lalu menyiapkan produk dari rekanan mereka di China, atau bahkan hasil produksi TikTok sendiri, untuk dipasarkan di dalam masyarakat yang datanya telah mereka koleksi itu.