Benny pun menegaskan, meskipun pihaknya sepakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, pendekatan yang diambil oleh Kemenkes tidak bisa hanya melibatkan aspek kesehatan atau industri saja.
"Kita perlu duduk bersama untuk membahas isu ini secara komprehensif," tambahnya.
Namun Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi menyatakan bahwa perbedaan pendapat bukan berarti semua masukan mengenai pengaturan tembakau dapat diterima oleh Kemenkes.
Meski ia menyatakan telah menjalankan proses partisipasi publik, nyatanya kedua aturan Kemenkes tersebut terus menerus menuai protes luas dari berbagai pihak.
"Kita bisa berbeda pendapat, tapi bukan berarti seluruh masukan harus diterima ‘kan?" kata dia.
Dia pun menjelaskan bahwa penggunaan logo dalam kemasan rokok masih diperbolehkan, termasuk kewajiban untuk menyematkan peringatan dan informasi kesehatan.
Di kesempatan lain Nadia menyatakan branding tidak diperbolehkan. Pernyataan bertolak belakang ini kontradiktif, terutama terlihat dalam Rancangan Permenkes yang memuat ketentuan kemasan rokok polos tanpa merek.
Pada Rancangan Permenkes yang diunggah di situs resmi Kementerian Kesehatan, bagian Pencantuman Informasi pada Kemasan pasal 15 ayat (3) menyatakan, ‘Merek produk diletakkan di bawah Peringatan Kesehatan pada sisi depan atau belakang kemasan menggunakan huruf kapital Arial Bold’.
Sementara pada pasal 5 ayat (1) poin g disebutkan bahwa ‘kemasan produk tembakau dilarang menambahkan gambar dan atau tulisan dalam bentuk apapun selain yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri ini’. Hal tersebut berbeda dengan pernyataan Siti Nadia dalam diskusi.
Baca Juga: Pelaku Usaha Protes, Kemasan Polos Tanpa Merek Lemahkan Industri Rokok Elektrik Dalam Negeri
"Nama dan logo produk masih bisa. Tapi memang peringatan, informasi, gambar mengenai dampak dari merokok memang ada. Branding-nya nggak boleh. Untuk warna kita standardisasi, termasuk rokok elektronik," jelas dia.