Begitu pula saat ia harus turun gunung, kondisi fisiknya yang renta membuatnya tidak mampu lagi menuruni jalur terjal Lawu dengan berjalan kaki. Ia harus ditandu oleh dua orang porter dengan biaya yang cukup besar, mencapai satu juta rupiah per orang.
Diketahui bahwa Mbok Yem hanya turun dari puncak Lawu saat momen Lebaran Idul Fitri tiba, sebuah pengecualian dari rutinitasnya yang setia berada di ketinggian. Dengan tulus, Mbok Yem mengaku tidak ingin menjadi beban bagi anak-anaknya, dan berjualan di puncak Lawu menjadi caranya untuk tetap mandiri dan mewujudkan keinginannya tersebut.
Kepergian Mbok Yem meninggalkan lubang besar di hati para pendaki dan komunitas pencinta alam. Kisahnya adalah testament tentang ketahanan, dedikasi, dan kehangatan manusia di tengah kerasnya alam. Ia bukan hanya penjaga warung tertinggi, tetapi juga penjaga semangat Lawu, seorang ibu bagi ribuan pendaki yang mencari kehangatan dan persinggahan di tengah dinginnya puncak.
Kenangan akan senyumnya, nasi pecelnya yang sederhana namun nikmat, dan kehadirannya yang menenangkan akan terus hidup dalam cerita dan langkah kaki setiap pendaki yang pernah singgah di warungnya, mengabadikan Mbok Yem sebagai bagian tak terpisahkan dari legenda Gunung Lawu. Selamat jalan, Mbok Yem. Kisahmu akan terus menginspirasi.