Investor Batalkan Proyek Baterai EV Indonesia, Investasi Lebih dari Rp300 T Lenyap

M Nurhadi Suara.Com
Senin, 28 April 2025 | 11:27 WIB
Investor Batalkan Proyek Baterai EV Indonesia, Investasi Lebih dari Rp300 T Lenyap
Lokasi pertambangan ore nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. [ANTARA/Jojon]

Suara.com - Beberapa saat lalu publik diramaikan dengan keputusan raksasa baterai asal Korea Selatan, LG Energy Solution Ltd (LGES) yang mundur dari royek ambisius bernama 'Proyek Titan'. Keputusan ini menambah panjang daftar investor asing yang memilih angkat kaki dari proyek-proyek strategis pengembangan baterai EV di Tanah Air.

Sebelumnya, pada Juni 2024, dua investor besar asal Eropa, yakni BASF SE (Jerman) dan Eramet SA (Prancis), juga memutuskan untuk mengakhiri keterlibatannya dalam megaproyek smelter nikel hidrometalurgi Sonic Bay di Teluk Weda, Maluku Utara. Proyek senilai miliaran dolar ini digadang-gadang akan menjadi penopang utama ekosistem baterai EV di Indonesia.

Dengan hengkangnya LGES dari Proyek Titan pada April 2025, Indonesia tercatat telah kehilangan setidaknya tiga investor kunci dalam proyek baterai EV hanya dalam kurun waktu 10 bulan terakhir. Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai daya tarik investasi di sektor hilirisasi nikel dan pengembangan baterai EV di Indonesia.

Lebih mengkhawatirkan lagi, hingga saat ini pemerintah belum memberikan informasi perkembangan terkini mengenai sejumlah proyek baterai EV lain yang melibatkan investor besar, seperti Hon Hai Precision Industry Co (Foxconn) dari Taiwan dan Britishvolt dari Inggris. Ketidakjelasan ini semakin menambah keraguan terhadap realisasi ambisi Indonesia di kancah industri baterai EV global.

LGES Terdepak dari Proyek Titan, Pemerintah Sebut karena Negosiasi Berlarut-larut

LGES secara resmi mengumumkan alasannya mundur dari Proyek Titan yang bernilai investasi US$7,7 miliar (sekitar Rp129,84 triliun) pada Jumat (18/4/2025). Perusahaan asal Korea Selatan itu menyebut "perubahan kondisi pasar" sebagai alasan utama di balik keputusannya. Proyek Titan sendiri merupakan proyek strategis nasional yang melibatkan konsorsium Korea Selatan (termasuk LGES) bersama dengan Indonesia Battery Corporation (IBC).

Namun, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Perkasa Roeslani memberikan klarifikasi yang berbeda. Menurutnya, keluarnya LGES dari Proyek Titan merupakan keputusan terminasi kontrak dari Pemerintah Indonesia, bukan inisiatif perusahaan Korea Selatan tersebut.

Menteri Investasi/Kepala BKPM, Rosan Roeslani. (Suara.com/Novian)
Menteri Investasi/Kepala BKPM, Rosan Roeslani. (Suara.com/Novian)

Menurut eks Dubes RI untuk Amerika Serikat itu, pemerintah berinisiatif untuk mengakhiri kerja sama karena negosiasi pelaksanaan proyek senilai US$9,8 miliar (Rp165,32 triliun) dengan LGES cenderung berjalan lambat dan berlarut-larut. Surat terminasi perjanjian kerja sama bahkan telah diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 31 Januari 2025 dan ditandatangani oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, yang kemudian dikirimkan kepada CEO LG Chem Ltd dan LGES.

Lebih lanjut, Rosan mengungkapkan bahwa minat Zhejiang Huayou Cobalt Co asal China menjadi salah satu faktor pendorong keputusan untuk mengakhiri kerja sama dengan LGES. Perusahaan asal China tersebut dinilai lebih berkomitmen untuk memimpin konsorsium di Proyek Titan.

Baca Juga: 8 HP Sejutaan dengan Baterai Jumbo dan Memori 128 GB, Tidak Menguras Isi Dompet!

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sendiri menegaskan bahwa secara keseluruhan, proyek hilirisasi bijih nikel menjadi baterai EV di Indonesia tidak mengalami perubahan mendasar. Menurutnya, yang terjadi hanyalah penyesuaian mitra investasi dalam struktur joint venture (JV) proyek senilai hampir US$8 miliar (sekitar Rp135 triliun) tersebut.

"Perubahan hanya terjadi pada level investor, di mana LG tidak lagi melanjutkan keterlibatannya pada JV 1, 2, dan 3 yang baru, dan telah digantikan oleh mitra strategis dari China, yaitu Huayou, bersama BUMN kita," jelas Menteri Bahlil.

Ia juga menekankan bahwa konsep pembangunan megaproyek baterai yang dijuluki Indonesia Grand Package tersebut tetap sesuai dengan peta jalan awal, termasuk infrastruktur dan rencana produksi.

BASF & Eramet Mundur dari Proyek Smelter Sonic Bay

Sebelumnya, pada pertengahan 2024, Indonesia juga harus menerima kenyataan ditinggalkan oleh dua investor Eropa, BASF SE dan Eramet SA, dalam proyek Sonic Bay yang memiliki nilai investasi US$2,6 miliar (sekitar Rp43,74 triliun). Proyek ini merupakan pabrik pemurnian nikel/kobalt berbasis teknologi high pressure acid leach (HPAL) yang bertujuan menghasilkan bahan baku baterai EV berupa mixed hydroxide precipitates (MHP) di Kawasan Industri Teluk Weda, Maluku Utara.

Proyek Sonic Bay awalnya dirancang untuk memproses sebagian bijih nikel dari tambang Weda Bay Nickel guna menghasilkan sekitar 60.000 ton nikel dan 6.000 ton kobalt dalam bentuk MHP sebagai bahan baku utama baterai EV.

 Bahlil Lahadalia. (Suara.com/Novian)
Bahlil Lahadalia. (Suara.com/Novian)

Menteri Investasi/Kepala BKPM saat itu, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa investasi BASF dan Eramet merupakan momentum penting untuk membuktikan bahwa pengelolaan tambang di Indonesia memperhatikan aspek lingkungan dan standar internasional. Namun, harapan tersebut pupus dengan keputusan kedua perusahaan untuk mundur.

BASF dalam pernyataan resminya menyimpulkan tidak akan melanjutkan proyek tersebut setelah melakukan evaluasi menyeluruh. Sementara itu, Eramet Indonesia mengungkapkan alasan hengkang karena sudah terlalu banyak proyek serupa di kawasan industri Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), yang berpotensi menimbulkan gangguan terkait lahan, air, dan pasokan bijih nikel.

Direktur Eramet Indonesia saat itu, Bruno Faour, menyebutkan bahwa keberadaan banyak smelter HPAL di satu lokasi yang sama dapat menimbulkan kerumitan terkait ketersediaan sumber daya pendukung proyek, seperti air dan bijih nikel. 

Ketidakpastian Investasi Britishvolt dan Foxconn

Selain hengkangnya beberapa investor, perkembangan rencana investasi dari perusahaan lain seperti Britishvolt dan Foxconn juga masih belum menunjukkan kepastian yang jelas.

Pada Oktober 2023, Menteri Investasi/Kepala BKPM saat itu, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa perkembangan rencana investasi Britishvolt masih stagnan akibat kondisi global. Sebelumnya, pada Maret 2022, Britishvolt dan VKTR (bagian dari Bakrie & Brothers) mengumumkan rencana pengembangan kapasitas pemurnian nikel berkelanjutan dan potensi pembangunan pabrik baterai di Indonesia melalui joint venture Indovolt BV VKTR.

Sementara itu, hingga saat ini belum ada perkembangan signifikan terkait investasi Hon Hai Precision Industry Co (Foxconn) di Indonesia. Pada April 2024, Menteri Investasi/Kepala BKPM saat itu, Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwa penundaan investasi Foxconn disebabkan oleh adanya beberapa hal yang masih perlu didiskusikan antara perusahaan asal Taiwan tersebut dengan pemerintah Indonesia.

Padahal, pada Januari 2022, telah ditandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Foxconn, Gogoro Inc, IBC, dan Indika Energy Tbk (INDY) mengenai kerja sama investasi pengembangan ekosistem energi baru berkelanjutan, termasuk baterai listrik dan kendaraan listrik, dengan perkiraan total nilai investasi mencapai US$8 miliar.

Masalah lain yang tidak kalah penting harus segera diatasi oleh pemerintah diantaranya rumitnya perizinan, keberpihakan terhadap keberlanjutan dan komitmen melindungi investor dari gangguan investasi seperti preman, oknum ormas dan masih banyak lagi.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI