Salah satu pasal yang dipersoalkan adalah larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari lokasi pendidikan dan fasilitas umum, serta wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang kini sedang digodok dalam Rancangan Permenkes.
Lebih jauh, Sudarto menilai regulasi tersebut mencerminkan intervensi asing dalam kebijakan dalam negeri, karena mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang disebut tidak relevan dengan kondisi industri nasional.
"Tidak ada negara lain yang seunik Indonesia, jadi pemerintah jangan mau didikte oleh negara lain yang tidak memiliki industri seperti kita," beber dia.
Selain perlindungan dari regulasi yang merugikan, FSP RTMM-SPSI juga meminta pemerintah memperluas cakupan insentif perpajakan bagi pekerja padat karya. Mereka mendesak agar sektor IHT serta makanan dan minuman dimasukkan dalam cakupan pembebasan PPh 21 yang diatur dalam PMK 10/2025.
“Sektor-sektor ini merupakan penyerap tenaga kerja terbesar di antara sektor industri lainnya, namun tidak diberikan insentif tersebut,” kata Sudarto.
Ia menambahkan bahwa rekomendasi tersebut sesuai dengan visi Presiden Prabowo yang sedang mengupayakan deregulasi demi menjaga pertumbuhan ekonomi nasional.
Berdasarkan data dari laman Satu Data Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mencapai 18.610 orang per Februari 2025, melonjak hampir enam kali lipat dari Januari yang hanya 3.325 orang. Lonjakan ini menjadi sinyal serius bahwa industri padat karya tengah berada dalam tekanan berat.
Sudarto juga meminta agar pemerintah memberikan ruang dialog setara bagi serikat pekerja dalam proses pengambilan kebijakan.
"Kami, serikat pekerja, siap mendukung kebijakan pemerintah untuk memastikan terjaminnya kesehatan dan kesejahteraan pekerja," pungkasnya.
Baca Juga: WHO Siap PHK di Akhir Tahun, Ini Kriteria Karyawan yang Kena