3 Alasan Pemanfaatan Energi Geotermal Masih Minim, Padahal Potensinya Besar

Achmad Fauzi Suara.Com
Kamis, 22 Mei 2025 | 14:12 WIB
3 Alasan Pemanfaatan Energi Geotermal Masih Minim, Padahal Potensinya Besar
Media Gathering The 11th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (lIGCE) 2025 di Kawasan SCBD, Jakarta, Kamis (22/5/2025)/(Suara.com/Achmad Fauzi).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemanfaatan energi panas bumi atau geotermal di Indonesia masih sangat sedikit. Bahkan, kekinian penggunaan geotermal sebagai energi baru dan terbarukan kurang dari 20 persen.

Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (INAGA-API), Julfi Hadi mengungkapkan, secara persentasen pemanfaatan energi panas bumi baru 12 persen. Dia menyebut, potensi energi geotermal mencapai 24 gigawatt.

"Jadi kita baru 12 persen, berarti kita ada 88 persen sisa. Nah, ini kita lihat ini sebagai opportunity," ujarnya dalam Media Gathering The 11th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (lIGCE) 2025 di Kawasan SCBD, Jakarta, Kamis (22/5/2025).

Ilustrasi panas bumi.
Ilustrasi panas bumi.

Menurut Julfi, sebenarnya pemanfaatan energi geotermal di dalam negeri bisa ditingkatkan, kalau semua pihak mau berkolaborasi. Sebab, dari pelaku usaha sendiri telah memiliki model untuk pengembangan energi geotermal tersebut.

"Kalau kita lihat Pak Presiden waktu itu bilang UUD 1945 pasal 33 bahwa masalah di Indonesia bahwa reources Indonesia ini adalah untuk negara. Kalau benar bahwa itu terlalu penting, jadi mustinya sekarang kalau kita bisa membuat komunikasinya clear dengan pemerintah, asosiasi bisa, mudah-mudahan, insya Allah, negara harus membantu untuk membuat ini komersial dan sebagainya," beber dia.

"Karena apa? Karena formulanya tadi sudah 100 persen clear, cukup clear karena kita punya banyak sekali case studies," sambung dia.

Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGE) ini mengungkapkan, tiga alasan pemanfaatan energi panas bumi itu belum maksimal. Pertama, mayoritas proyek geotermal mandek di ekplorasi, sebab tidak ada keselarasan antara tarif dengan risiko eksplorasi yang dijalankan.

"Nah itu nomor satu. Kita bisa bilang staging, kita ada ESP pump tadi untuk sumurnya, kalau sumurnya ternyata dapat mengalami low pressure, sekarang bisa dinaikkan pressure-nya," jelas dia.

"Kalau kita punya reservoir yang lebih rendah pressure keluar, pressure-nya juga lebih rendah, jadi mitigation dari itu sudah ada. Itu IPP bisa. Itu IPP bisa kerjain, Insha Allah," tambah Julfi.

Baca Juga: Dalam IPA Convex, Pertamina Komitmen Penuhi Kebutuhan Gas Bumi Domestik melalui Skema Swap Gas

Kedua, lanjutnya, dari sisi belanja modal atau capital expenditure (capex) yang memang harus diturunkan. Menurut Julfi, nilai capex yang dikeluarkan harus sesuai rencana dan model yang dijalankan perusahaan ekplorasi.

"Kita semua IPP punya model, punya general plan model, berapa capex-nya harus diturunkan cukup signifikan," jelas dia.

Terakhir ketiga, Julfi menyebut, insentif pemerintah juga menjadi kendala proyek-proyek geotermal masih berjalan. Dia pun mengharapkan pemerintah bisa memberikan insentif fiskal, agar investasi di proyek geotermal menjadi menarik.

"Nah jadi itu salah satu yang penting lagi, karena kalau kita itu, Insentif itu playing a major portion. Dan yang paling penting terakhir adalah, kita gak bisa lagi melihat projek kita expand sebegitu panjang. Jadi kita harus buat ini semua, panjangin, buat ekosistem yang bisa, supaya 88 persen, bisa menjadi opportunity, win-win untuk semua stakeholder," beber dia.

Gunakan Teknologi

Sebelumnya, PGE juga mengadopsi teknologi baru seperti pompa submersible listrik dan pengukur aliran dua fase untuk meningkatkan efisiensi operasional. Investasi untuk mencapai target ini diperkirakan mencapai USD17-18 miliar, dengan kontribusi signifikan terhadap PDB nasional sebesar USD21-22 miliar.

Dalam hal pengurangan emisi, lanjut Julfi, energi panas bumi memiliki potensi yang luar biasa. Dengan pengembangan yang tepat, energi panas bumi di Indonesia diperkirakan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca tahunan sebesar 18-20 juta m³ CO. "Komitmen ini tidak hanya mendukung transisi energi bersih, tetapi juga memberikan kontribusi langsung terhadap upaya global mengatasi perubahan iklim," ujarnya.

Sektor ini dapat menciptakan sekitar 1 juta pekerjaan baru, baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini tentunya berdampak positif pada perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar proyek panas bumi.

Namun, lanjut Julfi, tantangan yang dihadapi dalam pengembangan panas bumi tidaklah sedikit. Salah satu hambatan terbesar adalah risiko pengeboran, di mana hasil eksplorasi sering kali lebih rendah dari yang diharapkan.

Pipa gas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Madina. [Istimewa]
Pipa gas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Madina. [Istimewa]

Proses pengeboran hingga komersialisasi juga memakan waktu yang cukup lama, yakni 5 hingga 15 tahun. Selain itu, regulasi yang kompleks dan perizinan yang lambat menjadi kendala utama dalam menarik investasi di sektor ini. "Oleh karena itu, diperlukan dukungan kebijakan yang lebih fleksibel dan insentif yang memadai untuk mempercepat pengembangan energi panas bumi di Indonesia," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI